NINNA.ID – Hari itu menjadi sakral, 1 Juni. Diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Peringatan itu didasarkan pada fakta sejarah ketika Bung Karno menyampaikan pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila”. Awalnya, pidato ini tidak memiliki judul, namun Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat memberikannya judul “Lahirnya Pancasila”.
Kita tak akan membahas hari Lahir Pancasila dan bagaimana liburan di Danau Toba pada hari libur Pancasila tersebut di esai singkat ini. Kita akan membahas tokoh di baliknya, yaitu Bung Karno. Anda tahu? Suatu saat, Bung Karno diasingkan ke Danau Toba, tepatnya di Parapat. Kini, tempat itu menjadi sangat bersejarah. Menjadi monumen hidup.
Tempat itu unik. Arsitekturnya ala Belanda. Dibangun oleh Belanda pula pada tahun 1820. Kala itu, Belanda mulai merangsek ke Tanah Batak. Walau begitu, Batak di arah Utara, Belanda belum berhasil menguasai. Maka, pada 1837,dibuatlah dua peta untuk Tanah Batak. Yang sudah dikuasai dan yang belum. Yang sudah dikuasai pusat residennya di Sibolga.
“Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”. Itu namanya. Nama yang belum dikuasai disebut “De Onafhankelijke Bataklandan”.
Daerah yang belum dikuasai itu meliputi Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Toba, Samosir, dan tentu saja Bakara atau Humbang.
Namun, Belanda tetap bersiasat. Sekitar 50 tahun sejak membangun di Parapat, mereka mulai mencaplok daerah Batak.
Satu per satu. Bermula dari Silindung. Belum sampai ke Humbang. Namun, Sisingamangaraja sudah mulai gusar. Ia melihat kelicikan Belanda. Dan, sejak dari situ hingga hampir 30 tahunan lamanya, Sisingamangaraja bergerilya. Sisingamangaraja tak berhasil. Ia tewas dalam perang. Tetapi, ia hidup di hati masyarakat. Bung Karno sendiri mengakuinya dalam pidatonya.
Bung Karno bernasib mujur. Ia hanya diasingkan Belanda, termasuk di Parapat. Konon, selama lebih seminggu. Ada yang bilang hampir sebulan. Konon pula, Bung Karno dilayani orang Batak. Ada marga Sinaga. Satu lagi Sitindaon. Dalam jiwa kedua sosok ini, Sisingamangaraja hidup lagi. Mereka bantu Bung Karno mengirimkan pesan-pesan rahasia.
Namanya rahasia. Tak bisa diketahui banyak orang, terutama Belanda. Namun, rahasia tak selalu tidak untuk tidak diketahui. Sebisa mungkin disembunyikan atau dirahasiakan. Tetapi, sebisa mungkin juga orang melacaknya, terutama Belanda. Karena itu, pasukan Belanda juga mengirim tulisan tangan Bung Karno ke tuannya.
Tulisan versi aslinya dikirim serdadu ke Den Haag. Tetap dijaga kerahasiaan surat itu. Sebab, kata Ichwan Azhari dalam sebuah esainya, bahwa surat itu diberi label khusus. Labelnya geheim. Maksudnya, rahasia. Karena ini perang, tidak hanya bedil dan meriam yang meledak. Otak-atik pesan juga terjadi. Termasuk otak atik surat. Tapi, dalam rahasia.
Lagi-lagi, itu kata sejarawan asal Unimed, Ichwan Azhari. Bisa dipercaya. Sebab, sejarawan itu sendiri konon sudah pernah membaca surat itu. Tidak hanya membaca. Membaca bisa dari mana saja asal kelihatan fotonya. Saya pun bisa membacanya. Namun, kata Ichwan Azhari, ketika berada di Den Haag 2014 lalu, ia menyentuh surat itu jua.
Begitulah kisah Parapat. Ia menjadi saksi atas berbagai pengubahan surat Proklamator. Ia juga menjadi saksi betapa Belanda pernah hidup. Pernah menjajah. Menjarah.. Pernah meminta maaf, meski masih seremonial. Pernah Raja dan Ratunya berkunjung. Hanya satu yang tak pernah: surat-surat dari Parapat itu tak pernah kembali ke Parapat. Siapa kita yang bisa mengembalikannya?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang