NINNA.ID-Saat melihat kaum wanita khususnya para ibu menjunjung makanan ke Dolok (Bukit) Sirikki Girsang Sipanganbolon, Pak Suripto, seorang guide kawakan bilang begini,” Ibu-Ibu Batak tangguh dan kuat. Ditinggal suami juga mampu perjuangkan anak-anaknya”.
Kata-kata Pak Suripto seketika membuatku teringat akan sejumlah wajah wanita Batak yang ku kenal selama ini. Wajah-wajah mereka seketika muncul di pikiranku.
Tidak berlebihan jika dibilang umumnya wanita Batak sangat mandiri.
Karena sangat mandiri, biasanya mama-mama Batak cenderung tidak berdandan. Tidak terlalu memikirkan penampilan.
Mereka lebih banyak habiskan waktu bekerja guna memenuhi nafkah keluarga. Biasanya tangan dan kaki mereka berotot. Akibat semangatnya bekerja keras.
Mereka bisa diandalkan untuk mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan para pria: membajak sawah, mencangkul, angkat-angkat barang berat dan lainnya.
Boru Nadeak di Hutaraja
Salah satu sosok yang sangat menginspirasi adalah Inang Boru Nadeak. Nama lengkapnya Teus Boru Nadeak.
Dia nenek buyut yang buatku sampai menginjakkan kaki dan tinggal di Hutaraja Lumban Suhi-Suhi, Samosir.

Dia berusia 100 tahun saat aku pertama kali jumpa dengannya. Sudah lama menjadi janda. Nenekku yang adalah putrinya, lebih dulu meninggal. Akan tetapi, ia masih sangat sehat.
Kesempatan luar biasa aku bisa jumpa dengan Nenek Buyut yang sudah berusia 100 tahun.
Biasanya nenek usia 80-an sudah bungkuk. Tapi tubuhnya tegap lurus.
Sama sekali tidak bengkok. Tidak dibantu dengan tongkat atau benda apapun untuk membantunya jalan. Malah, ia masih bisa mengusung pupuk kandang ke ladang.
Sepulang dari ladang ia biasanya akan membawa kayu-kayu untuk digunakan memasak. Sering pula Inang Boru Nadeak dimarahi sama orang-orang.
Dimarahi karena sering mengumpuli kayu-kayu yang ia dapati di jalan.
Padahal kayu-kayu tersebut diletakkan sengaja untuk pagar ladang. Begitulah lucu dan uniknya Inang Boru Nadeak yang sangat mandiri itu.
Sebenarnya, dia tidak bermaksud dengan sengaja mengambil kayu orang lain atau mencurinya. Itu karena polosnya dia pikir kayu tersebut tidak ada yang punya.
Soal makan dan minum, ia mengurus diri sendiri. Namun, jika ada yang mengajaknya makan atau minum, ia tidak pernah menolak. Makanan favoritnya jagal (baca: daging).
Tidak hanya gila kerja. Ia pun tahu caranya menikmati hidup. Ia penikmat anggur kamput.
Zaman dulu anggur kamput sangat populer minuman penambah tenaga. Kini pamor minuman ini berkurang.
Jika Inang boru Nadeak diberikan makan daging dan minum kamput, rasanya dunianya sudah lengkap.
Tak jarang keturunannya akan membawa kedua item ini untuk menyenangkan hatinya. Jika dia sudah senang, dia akan bernyanyi-nyanyi kegirangan. Bahkan manortor!
Lanjutlah sejumlah lagu dinyanyikan untuk menunjukkan dia sangat bahagia.
Sesimpel itulah bikin boru Nadeak tersebut bahagia. Tak butuh perhiasan, tas bermerek, pakaian bermerek atau sejenisnya untuk membahagiakannya.
Boru Situmorang di Sidaji
Inang Boru Nadeak punya anak perempuan Boru Situmorang di Sidaji, Samosir. Mereka berdua punya banyak kesamaan dalam banyak hal.
Aku kerap menyebutnya Opung Sidaji. Opung Sidaji pun sangat mandiri, tidak pernah berpangku tangan.

Sepertinya duduk termenung tidak ada dalam kamus mereka.
Mereka tidak punya televisi sebagai sarana hiburan. Waktunya selalu habis mengurus kerbau, ladang, dan berjualan di pasar.
Biasanya Boru Situmorang mengumpulkan bawang-bawang dari berbagai tempat untuk dijual ke Pasar di Pangururan tiap Rabu. Biasa orang Batak menyebutnya Maronan.
Dia memang seorang toke bawang (baca: pengumpul bawang).
Pernah saat berada di rumahnya di malam hari, aku sudah sangat mengantuk. Tapi, aku segan katakan ke Opung Sidaji aku mau tidur.
Opung masih sangat bersemangat membersihkan bawang. Hingga akhirnya aku tertidur pulas.
Tidak tahu jam berapa Opung memindahkan aku ke tikar. Paginya aku sadar Opung pindahkan aku.
Hingga saat ini, aku masih bisa bayangkan wajah Inang Boru Nadeak dan Opung Sidaji sekalipun mereka berdua sudah tiada.
Maktua Berkat
Maktua Berkat yang suaminya bermarga Sinaga di Girsang, salah satu wanita Batak yang punya kesamaan dengan Inang Boru Nadeak dan Opung Sidaji.
Kisah perkenalanku dengannya dimulai saat aku mencari murid Lesku.

Sekalipun itu kali pertama jumpa, ia langsung memberikan sebuah pemberian ke tanganku.
Aku kaget dia berikan hasil tanaman dari ladangnya ke tanganku.
Padahal, dia belum kenal aku itu siapa. Dia langsung berikan aku hasil ladangnya.
Kemurahan hatinya buatku ingat semasa kecil di Samosir, orang-orang di kampung itu sangat murah hati.
Apa saja makanan di rumah mereka, akan dibagikan ke tamu bahkan kepada orang yang tidak dikenal.
Itu buat kita merasa istimewa, nyaman dan merasa dikasihi.
Wanita Batak Kini
Sifat yang dimiliki wanita Batak kini bervariasi. Pengaruh perubahan dunia yang begitu pesat.
Kemajuan pendidikan, teknologi, fashion dan lainnya memengaruhi kebiasaan wanita Batak.
Tapi sifat mandiri tetaplah menjadi ciri khas wanita Batak.
Untuk melihat bukti, datanglah ke Tanah Batak.
Dulu, ketulusan, kerja keras, kemandirian, dan sifat-sifat luhur lainnya mudah kita temukan di Tanah Batak.
Tidak heran jika sejumlah lagu Batak berisi perjuangan untuk anaknya dan tentang ketulusan hati.
Misalnya, Anakkonki do hamoraon di au, Dos do nakokna dan lagu Batak lainnya yang mengisahkan tentang kehidupan.
Masihkah sifat-sifat wanita Batak yang ku sebutkan di sini akan kita dapati sekarang ini?
Penulis: Damayanti Sinaga