Tumpal Simbolon, Sang Pembebas Desa Terisolir di Samosir

NINNA.ID – SAMOSIR

“Saya pulang kampung, bukan karena saya kalah atau gagal di perantauan. Justru saya pulang saat saya di puncak keberhasilan sebagai pebisnis di Jakarta, hanya untuk memulai sesuatu di kampung halaman saya, yang sudah lama saya pendam.”

Demikian ungkapan tegas Tumpal Simbolon, saat ditemui Ninna.id di rumahnya yang berada persis di tepian pantai Danau Toba,  baru-baru ini.

Ama Goklas, demikian dia biasa disapa, memilih untuk pulang kampung pada tahun 2011, setelah berpuluh tahun merantau, dan saat itu sedang dipercaya mengolah dan mengelola limbah dua perusahaan besar nasional di Jakarta.

BERSPONSOR

Di kampungnya Desa Simbolon Purba, Kabupaten Samosir, bersama isterinya dia lalu memulai  petualangan barunya, yakni mendirikan sebuah bisnis yang tergolong  baru pada masa itu.

Yakni bisnis jasa penyeberangan dengan moda angkutan feri antar pulau. Dari sisi pantai Pulau Samosir di Utara dan pantai Pulau Sumatera di sisi Selatan dan sebaliknya.

Impian yang sudah lama ingin  diwujudkan di desa kelahirannya, dimulai dengan membangun kapal feri penyeberangan yang dinding dan rangkanya seluruhnya berbahan baku besi.

Itu sengaja dipilih  mengingat belum adanya galangan kapal sebagai tempat reparasi sebuah kapal secara berkala di Kawasan Danau Toba, sehingga harus tahan tidak busuk atau berkarat, setidaknya untuk jangka waktu 25 tahun ke depan.

BERSPONSOR

Pengalaman masa kecil dan apa yang disaksikan dengan mata kepala sendiri sebelum berangkat merantau, tenyata  tertanam sangat mendalam di hatinya.

Barang dan bahan-bahan kebutuhan masyarakat yang tinggal di seberang danau, yakni desa-desa di Kecamatan Sitiotio, seperti semen dan batu bata, selalu harus dibongkar dan diturunkan dahulu dari atas truk di pantai persis di kampungya.

Kemudian barang-barang tersebut dinaikkan ke atas kapal, lalu diseberangkan dengan kapal kecil. Dari atas kapal kecil ini diturunkan kembali ke pantai, selanjutnya barang tersebut dinaikkan lagi ke angkutan truk yang berbeda, seterusnya diangkut  ke tempat tujuan.

Tumpal Simbolon atau Ama Goklas Simbolon

Pria kelahiran tahun 1964 ini berkesimpulan, bahwa proses keharusan  empat kali bongkar muat tersebutlah sebagai  dalang penyebab harga barang dan bahan-bahan kebutuhan masyarakat di kecamatan seberang kampungnya sangat tinggi.

- Advertisement -

Sebaliknya, pendapatan masyarakat dari penjualan hasil bumi dan pertanian milik penduduk selalu tidak menguntungkan, karena biaya untuk menjual ke pasar saja sudah berat diongkos.

Empat kali proses bongkar muat  itu terjadi, hanya karena dari Pulau Samosir ke wilayah  Kecamatan Sitiotio di daratan Sumatera, yang meliputi Tamba, Sabulan dan desa-desa lain,  belum ada angkutan feri yang berkemampuan  menyeberangkan kenderaan roda empat.

Desa itu terisolir, karena masih sebatas kapal kecil yang ada mengangkut orang dan barang.  Keadaan yang sudah berlangsung  berpuluh-puluh tahun tersebutlah, mendorongnya harus melakukan sesuatu.

Tujuh bulan lamanya, bersama sang isteri boru Rajagukuk, Ama Goklas Simbolon, mempersiapkan dengan baik kapal angkutan feri miliknya.

Walau selama masa pembuatan kapal feri, masyarakat sekitar menaruh pandangan pesimis terhadap usaha yang mulai dirintisnya. Pun begitu semangatnya tak pernah menyurutkan cita-citanya.

“Pintor aha ma huroha taruan na haduan” (apa sih yang mau diangkutnya nanti?), demikian dia menirukan tanggapan beberapa masyarakat sekitar saat itu.

Bahkan menurut pengakuan  pria yang lahir di Lumban Simbolon, Desa Simbolon Purba ini, family dekat, seperti iparnya kandungpun menganggap usaha yang  akan dibangunnya tidak punya prospek.

Buktinya, sang ipar tidak mau meminjamkan modal kepadanya, karena takut bangkrut dan pinjamannya tak kembali.

Sekali lagi, atas semua  keadaan tersebut, tidak membuat semangat Ama Goklas menurun, sebab selain misi sosial yang hendak diwujudkannya yakni membebaskan wilayah Kecamatan Sitiotio dari keterisoliran, secara proyeksi hitungan bisnisnya pun, pria yang berbicara tegas ini percaya bahwa nanti investasinya tidak akan sia-sia.

“Pada saat itu tahun 2011, saya membayangkan bahwa tahun 2020, Samosir ini sudah akan luar biasa kemajuanya. Kenapa? Saat itu saya melihat para perantaunya, termasuk perantau dari desa-desa di seberang (kecamatan Sitiotio) sudah sangat jago dan maju-maju.” Demikian ia mengungkapkan tentang visinya yang mampu melihat yang akan terjadi  sepuluh tahun ke depan di tanah kelahirannya.

TERKAIT  Quinn Kitchen: Dari Dapur Rumah ke Panggung Dunia

Saat usaha angkutan feri penyeberangan miliknya, yang diberi nama Raja Naubanon, beroperasi di awal 2012, Tumpal Simbolon langsung tancap gas. Pengalamannya selama merantau di Jakarta, dijadikkan modal utama tata kelola usaha.

Feri yang mampu memuat delapan unit mobil roda empat, dioperasikan selama 24 jam. Walau tengah malam, subuh atau di tengah hujan deras, dipastikan semua penumpang harus terseberangkan.

Bahkan walau hanya satu orang pun penumpang, selalu dilayaninya dengan baik. Menurutnya, itu semua demi membangun kepercayaan masyarakat  serta  praktek kepastian pelayanan.

“Jangan satu orang pun  yang ingin diseberangkan, sampai kecewa. Bila sampai terjadi, itu sama dengan kita mundur lima tahun,” jelasnya kepada Ninna.id tentang prinsip managemen modern yang diterapkan  pada usahanya yang berfokus kepada pelanggan.

Walau pada bulan-bulan awal beroperasi, usaha feri penyeberangan   tampak masih merugi, namun seiring berjalannya waktu, dengan tetap setia menerapkan tata layanan yang baik kepada setiap penumpang,  secara perlahan usaha yang dirintisnya mendapat sambutan baik dari masyarakat. Hingga hari ini di masa pandemi Covid-19, usaha ferinya masih bisa eksis beroperasi dengan baik.

“Buktinya, saya bisa memberangkatkan sekolah anak-anak  sampai perguruan tinggi, dan biaya kebutuhan hidup lainnya,” kata penghobby musik mellow ini. Tidak hanya itu, ternyata usaha yang dulu dipandang pesimis oleh masyarakat sekitar, mampu “mentriger” pemikiran masyarakat sekitar untuk membuat usaha yang sama.

Buktinya, saat ini ada banyak usaha sejenis yang dimiliki oleh masyarakat, melayani penyeberangkan kendaraan dari Pulau Samosir ke daratan Pulau Sumatera dan sebaliknya.  Khususnya penyeberangan dari Samosir, Simbolon ke Tamba di Sumatera, dan dari Samosir, Pintu Batu ke Harian, di Pulau Sumatera.

Menariknya, bahwa pada tahun 2014, persis setelah dua tahun feri Raja Naubanon milik Ama Goklas ini beroperasi, empat desa di wilayah Tamba, Kecamatan Sitititio, yakni Desa Janji Maria, Tamba Dolok, Parsaoran dan Desa Cinta Maju, yang dulunya masuk  kategori desa terisolir,  oleh Pemerintah Kabupaten Samosir, ditetapkan menjadi keluar dari kategori desa terisolir.

Selanjutnya diajukan ke BAPPENAS dan disyahkan menjadi data desa nasional hingga saat ini. Sebagaimana  informasi yang  diperoleh Ninna.id dari Rajoki Simarmata  MSi, mantan pejabat Kepala Bidang Sosbud di Bappeda Kabupaten Samosir.

Sesuai dengan kriteria BAPPENAS RI, desa yang sudah dapat dilalui kendaraan roda 4 selama 24 jam, tidak lagi termasuk desa terisolir. Terbukanya akses transportasi ke Janji Maria, Tamba Dolok, Parsaoran dan Desa Cinta Maju tentu berkaitan erat dengan sistem pengoperasian feri dengan layanan 24 jam milik Ama Goklas.

Di akhir perbincangan hangat  dengan Ninna.id,  lelaki penikmat kopi ini, sempat menitipkan pesan kepada pemerintah, agar memberi penghargaan dan perhatian terhadap usaha yang dirintisnya dan masyarakat sekitar, yakni berupa pembangunan dermaga yang layak demi menambah keselamatan mobil  penumpang yang hendak menyeberang, baik di sisi Pulau Samosir, maupun di sisi Pulau Sumatera.

Di sore hari yang sedikit gerimis, setelah hampir sebulan Samosir tidak pernah diguyur air hujan,  dan membuat banyak lereng gunung dan  perbukitan terbakar atau dibakar, akhirnya Ninna.id pamit dan memberi tanda salam sehat kepada Ama Goklas.

Pria paruh baya ini, kini hidup damai di kampung kelahirannya, karena merasa sudah berhasil  membumikan idenya serta bermanfaat kepada dirinya, keluarga dan masyarakat banyak.

Itulah Tumpal Simbolon, anak desa yang tidak pernah sekolah tinggi, tidak pernah berteman dengan pejabat tinggi, dan tidak pernah membangun angan tinggi-tinggi, tapi yang ditekuninya, ternyata menginspirasi dan bernilai tinggi.

 

Penulis: Mister O
Editor : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU