HUMBAHAS – Tepat akhir bulan kemarin, 30 April 2022, Kemenparekraf, BPODT, Pemprov Sumut, dan Pemkab Humbahas menyelenggarakan “Pesona Senandung Danau Toba”. Pengunjung boleh dikatakan membludak karena memang banyak wisatawan yang datang untuk melihat dan menikmati alam di Sipinsur.
“Pesona Senandung Danau Toba” dimeriahkan oleh Martahan Sitohang sebagai Mantri Kesenian Toba. Ia tampil dengan kawan-kawannya membawakan musik uning-uningan Batak. Saat musik uning-uninngan itu dimainkan, terlihat banyak pengunjung yang antusias. Mereka menari-nari. Tak sedikit pula yang memberikan saweran sambil menari dan tentu saja mengabadikan momen itu dengan merekamnya di gawai.
Pengunjung makin antusias saja ketika tarian dibawakan oleh Sanggar Maduma dari Doloksanggul. Sanggar Maduma membawakan beberapa tari kreasi. Saya berpikir, andai saja setiap momen liburan seperti ini selalu ada acara kesenian dan kebudayaan, maka Sipinsur pasti lebih bersemangat lagi. Yang kemudian membuat pengunjung takjub adalah ketika Hardoni Sitohang memainkan alat musik tradisional Batak bernama tulila.
Para wisatawan sampai takjub dan terhipnotis mendengar raungan tulila tarikan Hardoni Sitohang. Apalagi, Hardoni mempunyai aksi panggung yang hebat. Ia berkeliling ke arah penonton. Sesekali naik ke patahan kayu. Para wisatawan mengabadikannya sesekali dengan rasa takjub dan tepuk tangan.
Rupa-rupanya, ada alat musik Batak bernama tulila dengan suara yang sangat menghanyutkan dan mengharukan. Persis seperti lagu Leo Rojas.
Menurut pengakuan dan penjelasan Hardoni Sitohang pada penampilan itu, tulila adalah alat musik spiritual dan personal. Artinya, tulila adalah alat musik untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik. Bunyi-bunyian alat musik tulila yang sendu menjadi senandung dan doa yang sampai pada pemilik alam. Karena itu, ketika tepat selesai Hardoni memainkan tulila, lalu lampu padam, para pengunjung berseloroh kalau-kalau bunyi tulila itu sudah sampai ke langit.
Para wisatawan di Sipinsur itu semakin bergembira. Martahan Sitohang dan tim mengalunkan musik Batak mengiringi Marbisuk Trio yang khusus membawakan lagu-lagu Opera Batak. Para pengunjung seperti terkenang pada masa lalunya sehingga mereka bernyanyi ria bersama dan menyenandungkan lagu-lagu Opera Batak. Begitulah seharusnya destinasi wisata: menyuguhkan kekhasan daerah supaya perantau atau pengunjung dapat seperti bernostalgia ke masa lalunya.
Sebab, jika destinasi wisata di daerah masih mengandalkan produk kontemporer, mereka bisa dengan mudah dan murah mendapatkannya di perkotaan. Malah, di perkotaan justru lebih mewah. Karena itu, destinasi wisata lokal harus mengangkat nilai-nilai lokal di samping tetap menerima produk-produk kontemporer. Semua ini dilakukan di samping menjaga tradisi, juga untuk membuat perantau bernostalgia dengan masa kecilnya.
Pertunjukan masih tetap berlanjut dan penonton silih berganti dan bernyanyi. Mereka menari. Mereka bergoyang. Semua wajah gembira, puas, dan sumringah sekaligus terperangah. Sebab, ternyata masih ada pertunjukan mossak dari Sanggar Nabasa. Sanggar ini memang khusus di bidang mossak. Mossak adalah seni beladiri dari Batak. Para anak rantau yang masih mudah seperti terheran-heran lantaran ternyata ada pula produk budaya bela diri khas Batak.
Ada pertanyaan kepada saya saat itu. Mengapa mossak ini tidak bertengkar seperti seni beladiri lain. Saya tahu arah pertanyaannya. Sebab, seni beladiri memang jika bertanding langsung to the point, yaitu menyerang tubuh lawannya. Sementara itu, mossak tidak. Mossak lebih banyak berjauhan dan tidak menyentuh pasangannya sama sekali. Mengapa? Jawaban saya sederhana saja, bahwa mossak bukan pertarungan fisik, melainkan pertarungan spritual.
Karena itulah, ketika dikisahkan bahwa Raja Borbor dan Raja Lontung bertarung mossak sampai berhari-hari, kita mengerti bahwa itu bukan pertarungan fisik, melainkan pertarungan spritual. Begitulah kisah pengunjung pada Sipinsur. Mereka datang ke sana tak lagi sebatas menikmati alam dan rimbunnya pinus. Mereka juga bernostalgia pada masa lalu. Semoga di liburan berikutnya, wisatawan berbondong-bondong ke Sipinsur.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang