NINNA.ID – Tahun 2015 cukup dingin. Itu pada sebuah malam di Berlin. Duta-duta besar dari negara lain turut hadir. Kami dari PLOt mengadakan pementasan Opera Batak. Saya yakin, para penonton kurang mengerti meski ada penerjemah. Tetapi, kami tetap melanjutkan dan di beberapa adegan ada tepuk tangan, terutama di ujung pementasan.
Pada pementasan kali ini agak berbeda dari kota-kota lainnya di Jerman sebelumnya. Kami memeragakan ulos. Ulos dibuat menjadi tarian dan menjadi tontonan tambahan. Kebetulan, hari itu adalah hari perdana untuk merayakan ulos. Kini, hari Ulos sudah menjadi peringatan rutin.
Lalu, saya bertanya-tanya, sejauh mana kita menghikmati dan memaknai hari Ulos? Saya berimajinasi liar. Jauh ke tahun-tahun ketika mungkin ulos sebagai pakaian adat belum ada. Tentu, rumah pun masih beratap ijuk atau rumbia. Dinding terbuat dari papan tebal.
Walau tebal, papan masih menyisakan lubang kecil. Begitu pun dengan lantai rumah. Papannya sangat tebal, tetapi lubang-lubang kecil masih tersisa. Maka, pada sebuah malam di Balige, saya pernah tidur di Rumah Bolon. Dinginnya menyengat. Angin masuk dari lubang-lubang itu.
Balige lebih rendah daripada di pegunungan, seperti di Humbang. Di sana, angin seperti berbeda. Itu ketika saya masih SMA dan kebetulan sekolah saya adalah seminari. Saya memang dulunya calon pastor. Nah, sekolah kami rutin mengadakan aksi panggilan.
Yang mau saya kasih tahu, meski papan teramat tebal dan selimut ada satu-satu, dingin masih sangat menusuk tulang. Karena itulah saya berimajinasi pada masa sebelum ada selimut. Kain-kain pun masih belum setebal saat ini. Bagaimana ya, mereka melewati malam-malam dingin itu?
Dari sana saya menduga, ulos baru muncul dan bermetamorfosis sebagai pakaian adat. Karena memang, bahasa Batak selimut selain “gobar” adalah “ulos”. Ulos sebagai selimut adalah kehangatan. Kehangatan begitu sangat penting untuk merawat hidup.
Ada tiga sumber kehangatan. Ada dari matahari. Sayang, matahari hanya ada di siang hari. Ia justru hilang di masa paling dingin. Jadi, matahari tak praktis sebagai sumber kehangatan. Ada juga dari perapian. Ini lebih praktis dari matahari. Bisa dinyalakan siang, bisa juga malam.
Kelemahannya, asap terlalu banyak. Dan, perapian tak bisa dibawa ke mana-mana. Maka, alternatif ketiga adalah selimut. Ini bisa dibawa ke mana-mana dan kapan saja. Jadilah ulos sebagai pilihan utama sebagai mesin kehangatan. Dan, kehangatan pun menjadi kebutuhan pokok.
Dari sana saya menduga bahwa dulunya, ulos hanya seperti kado. Ia diberikan sebagai bentuk memberi kehangatan pada orang lain yang berduka atau yang bersuka. Lama-lama, ulos tak lagi menjadi sebatas kado atau buah tangan. Ulos dinaikkan statusnya menjadi bagian adat. Sebab, bagi orang Batak, kehangatan begitu sangat penting.
Kita bisa melacaknya dari segi bahasa. Sebagai pengetahuan awal, setiap manusia menempatkan kebahagiaan sebagai kasta teratas dalam pencapaian. Orang Inggris menyebut bahagia dengan “joyfull”. Orang Indonesia menyebutnya dengan, ya, bahagia. Kata-kata terjemahan bahagia itu seperti tak mencerminkan apa-apa.
Namun, beda dengan orang Batak. Batak mengartikan bahagia itu dengan dua kata: las roha. Las artinya hangat. Roha artinya jiwa atau hati. Arti gramatikalnya: hati yang hangat atau jiwa yang hangat. Apa poinnya bagi kita? Poinnya adalah bahwa orang Batak menerjemahkan kebahagiaan itu sebagai kehangatan.
Dan, kehangatan yang praktis hanya diperoleh dengan ulos. Karena itu, dalam tradisi Batak, ulos selalu menjadi keharusan ketika ada pesta suka atau ikut berduka. Ulos menjadi simbol bahwa kita ikut bahagia dan ikut membahagiakan. Kita ikut bersedih sehingga turut menghangatkan.
Kini, ulos sudah diusulkan menjadi warisan dunia. Ia pantas untuk itu. Karena memang, ulos adalah simbol kehangatan orang Batak. Jika kini bentuknya makin beragam dan motifnya makin mewah, itu bisa dipahami sebagai transformasi untuk lebih maju. Bagaimana pun, kita perlu bergerak dan bukannya statis.
Namun, arti bergerak di sini lebih pada mengembangkan dan mengeksplorasi, bukan malah meninggalkan. Jika malah ditinggalkan sehingga ulos dilihat semata kain bisnis sehingga diproduksi begitu massal oleh pabrik tanpa ideologi, di situlah kita sebenarnya sudah meninggalkan ulos. Maksud saya: mari menghikmati ulos sebagai bentuk kehangatan orang-orang Batak.
Oh, iya ucapan ini sudah telat: selamat hari Ulos.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor    : Mahadi Sitanggang