Tragis! Bahkan Anak-Anak di Perkampungan Sepanjang Kawasan Danau Toba Turut Terdampak Perubahan Iklim

NINNA.ID-Banyak orang beranggapan Kawasan Danau Toba sebagai tujuan wisata alam, indah dan sejuk. Bisa jadi orang beranggapan anak-anak di sana tidak akan terdampak perubahan iklim. Tapi tidak! Ada begitu banyak anak demam tinggi akibat perubahan iklim khususnya selama Agustus-September 2023.

Berikut sejumlah fakta tragis terkait dampak perubahan iklim yang terjadi Kawasan Danau Toba. Ada 8 kabupaten di Kawasan Danau Toba. Dalam hal ini yang masuk dalam riset penulis antara lain Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba, dan Kabupaten Simalungun.

Di Kabupaten Samosir
Selama bulan Agustus 2023, sejak gerimis maupun hujan sering mengguyur, banyak anak jatuh sakit demam tinggi. Beberapa dari antara mereka memiliki suhu sampai 39 derajat.

Bidan K Siagian di Jalan Lintas Desa Parbaba Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir mengatakan selama sebulan terakhir ada banyak anak demam tinggi.

Deon Naibaho usia 7 tahun salah satu pasiennya. Suhu tubuh Deon menembus 38,1 derajat Celsius. Sudah 3 hari Deon demam, tidak selera makan, uring-uringan, tidak fokus, dan cukup sering menangis. Selama tiga hari itu juga dia tidak sanggup bersekolah.

Syalomita Boru Sitohang kelas 4 SD usia 10 tahun di Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan, Samosir. Sudah 5 hari demam tinggi. Panasnya tembus 39 derajat.

Setelah berobat ke Puskesmas dan mendapat perawatan intensif, ia akhirnya sembuh. Akan tetapi, selama lima hari tersebut pula ia tidak selera makan. Badan dan wajahnya terlihat kurus.

Alexa Boru Simamarta usia 7 tahun yang juga tinggal di Desa Lumban Suhi-Suhi merasakan hal yang sama. Suhu tubuh Alexa sama seperti Syalomita, tembus 39 derajat.

BERSPONSOR

Berhari-hari Alexa menahan demam tinggi dan tidak bisa tidur nyenyak. Sering sekali ia batuk-batuk. Sekalipun sudah diberikan obat batuk, tenggorokannya tetap gatal-gatal.

Paskah Boru Manihuruk usia 7 tahun kelas 1 SD juga tinggal di Desa Lumban Suhi-Suhi. Panasnya tembus 39 derajat.

Beberapa hari kemudian setelah Paskah, Novri Boru Simarmata anak usia 3 tahun di Kampung Ulos Hutaraja Desa Lumban Suhi-Suhi juga demam tinggi. Panasnya mencapai 39 derajat.

Bisa dibilang, secara porsi ada sekitar 40 persen anak balita dan SD di Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan mengalami panas tinggi selama Agustus-September. Para tenaga medis mengatakan penyebab utama adalah perubahan iklim.

- Advertisement -

Di Simalungun
Di Simalungun misalnya, Putera balita usia 4 tahun demam tinggi setiap 6 jam. Sempat diduga terkena demam berdarah. Belakangan setelah diberikan obat, demamnya perlahan turun.

Ada juga anak bernama Sita kelas 2 SD demam tinggi. Ia bahkan tidak sekolah hampir seminggu karena panas dan gejala tipes. Belakangan adeknya juga demam tinggi. Akhirnya keduanya dianjurkan untuk rawat inap karena suhu tubuh yang tinggi.

Di Kabupaten Toba

Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Toba. Selama September 2023, beberapa anak demam tinggi. Sejumlah Puskesmas mengatakan angka pasien demam tinggi meningkatnya. Tidak hanya anak-anak juga orang tua.

Beberapa anak yang demam sampai tiga hari berturut-turut. Ada yang tidak sembuh sekalipun sudah seminggu lebih. Orang dewas juga demikian.

Di beberapa kabupaten lain Kawasan Danau Toba terdengar kabar yang sama. Perubahan iklim yang tiba-tiba tinggi dan tiba-tiba hujan menyebabkan rumah sakit dipadati pasien demam.

Bahaya Perubahan Iklim

Bulletin of the Atomic Scientists menyatakan bahaya akibat perubahan iklim hampir sama mengerikannya dengan bahaya akibat senjata nuklir. Dampak dalam jangka pendek mungkin tidak signifikan kelihatan.

Akan tetapi, dalam tiga hingga empat puluh tahuh ke depan, perubahan iklim dapat mengakibatkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki pada habitat tempat manusia menggantungkan hidup. Sejumlah ilmuwan yakin perubahan karena pemanasan global terjadi lebih cepat dibandingkan yang mereka duga.

UNICEF dalam laporan terbarunya menyebutkan anak muda di Indonesia adalah salah satu kelompok di dunia yang menghadapi risiko dampak perubahan iklim yang tinggi, dengan ancaman terhadap kesehatan, pendidikan, dan perlindungan mereka.

‘The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index’ adalah laporan global pertama yang menyajikan analisis risiko iklim komprehensif dari sudut pandang anak.

Diluncurkan atas kerja sama dengan Fridays for Future pada peringatan tiga tahun gerakan protes iklim yang diinisiasi anak muda, laporan ini menemukan bahwa sekitar 1 miliar anak—atau hampir separuh dari total 2,2 miliar anak di seluruh dunia—hidup di salah satu dari 33 negara yang berkategori “berisiko sangat tinggi”.

Temuan ini menyebutkan angka anak yang terdampak pada hari ini; namun, angka itu sangat mungkin bertambah seiring dengan dampak perubahan iklim yang terjadi kian cepat. Pada posisi ke-46, Indonesia adalah salah satu dari negara dengan risiko tinggi (high risk).

Menurut laporan tersebut, anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan tinggi terhadap penyakit tular vektor, pencemaran udara dan banjir rob; namun demikian, investasi pada layanan sosial, khususnya kesehatan dan nutrisi, pendidikan, perlindungan sosial dan inklusi keuangan, dapat menciptakan perbedaan besar dalam kemampuan negara untuk melindungi masa depan anak dari dampak perubahan iklim.

“Krisis iklim adalah krisis hak anak,” ujar Perwakilan UNICEF Indonesia Debora Comini.

“Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buruk.”

Laporan UNICEF juga menunjukkan korelasi terbalik antara wilayah penghasil emisi gas rumah kaca dengan wilayah tempat beradanya anak yang paling mengalami dampak perubahan iklim.

Secara total, 33 negara dalam kategori berisiko sangat tinggi menyumbang hanya 9 persen emisi CO2 dunia. Sebaliknya, 10 negara penghasil CO2 terbesar menyumbang hampir 70 persen emisi global. Akan tetapi, hanya satu dari negara-negara ini yang masuk ke dalam kategori ‘berisiko amat tinggi’ menurut indeks CCRI.

TERKAIT  Pelatihan Barista Andalkan Kopi Arabika Toba

Negara-negara Asia Timur dan Pasifik juga bertanggung jawab atas kontribusi emisi CO2 global yang semakin besar, dengan Tiongkok (30,30 persen), Jepang (3,25 persen), Republik Korea (1,85 persen) dan Indonesia (1,71 persen) masuk di daftar 20 negara penghasil CO2 terbesar dunia.

Kebakaran Hutan 1
Keindahan Kaldera Toba di Samosir dihanguskan api.(foto:edward)

Aksi Mendesak

Tanpa dilakukannya aksi mendesak yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, anak akan terus menjadi pihak yang paling terdampak.

Dibandingkan orang dewasa, anak-anak membutuhkan lebih banyak makanan dan air per kilogram berat badan, kemampuannya bertahan dari peristiwa cuaca ekstrem lebih rendah, dan anak lebih rentan terdampak hal-hal seperti bahan kimia beracun, perubahan suhu, dan penyakit.

UNICEF menyerukan pemerintah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk:

1. Meningkatkan investasi untuk menjadikan layanan penting bagi anak lebih tahan terhadap dan mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Untuk melindungi anak, masyarakat, dan kelompok paling rentan dari dampak-dampak terburuk iklim yang tengah berubah, layanan-layanan esensial harus disesuaikan—termasuk di bidang air, sistem sanitasi dan kebersihan, kesehatan, dan pendidikan.

2. Menurunkan emisi gas rumah kaca. Untuk menghindari dampak terburuk dari krisis iklim, dibutuhkan aksi yang komprehensif dan mendesak. Negara-negara harus menurunkan kadar emisinya sebesar minimal 45persen (dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2010) pada tahun 2030 untuk menjaga peningkatan suhu di bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat Celsius.

3. Memberikan anak pendidikan dan pengetahuan tentang iklim dan lingkungan hidup sebagai keterampilan yang penting bagi kemampuan mereka beradaptasi dan mempersiapkan diri menghadapi efek perubahan iklim. Anak dan remaja adalah kelompok yang akan mengalami konsekuensi penuh dan terberat dari krisis iklim dan kelangkaan air—pada saat yang sama, mereka memiliki andil yang terkecil dalam terjadinya perubahan iklim. Kita semua memiliki tanggung jawab moral menjaga anak dan remaja serta generasi yang mendatang.

4. Melibatkan anak muda di semua negosiasi dan pengambilan keputusan terkait iklim pada tingkat nasional, regional, dan internasional, termasuk COP26. Anak dan remaja harus turut serta dalam segala pengambilan keputusan terkait iklim.

5. Memastikan upaya pemulihan dari COVID-19 berorientasi kepada upaya ramah lingkungan, rendah karbon, dan iklusif, agar tidak melemahkan kemampuan generasi mendatang untuk mengatasi dan merespons krisis iklim.

Fakta kenaikan suhu tiap tahun ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang di bumi. Sebab, semua orang terkena dampak perubahan iklim. Melihat bencana meningkat dari tahun ke tahun, isu perubahan iklim menjadi topik paling penting untuk dibahas para pemangku kepentingan.

Menyelamatkan Hutan

Sangatlah wajar berkesimpulan salah satu solusi paling praktis untuk mencegah kenaikan suhu atau perubahan iklim adalah dengan menyelamatkan hutan. Hutan-hutan yang masih tersisa di dunia harus dilindungi.

Jika para pemimpin dunia khususnya para pemimpin di Indonesia benar-benar serius untuk menangani perubahan iklim, mereka harus bertanggung jawab dalam melestarikan hutan yang tersisa.

Sebagai negara yang masih memiliki hutan lebat, Indonesia berperan besar menunjukkan keseriusan tersebut. Khususnya dalam menjaga hutan hujan tropis dan mangrove.

Dilansir dari publikasi Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Utara, luas lahan non pertanian, sawah maupun lahan kering mengalami peningkatan, sedangkan lahan lingkungan hidup dan hutan mengalami penurunan. Dari capaian Indeks Kualitas Lahan tahun 2021 sebesar 48,84 poin kualitas lahan Provinsi Sumatera Utara masih dikategorikan “kurang”.

Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Kebakaran hutan khususnya kerap terjadi di Kawasan Danau Toba (foto: Damayanti)

Lima masalah utama yang akan muncul bilamana dunia tidak peduli dengan masalah pemanasan global yaitu:

Pertama, ancaman kepunahan beberapa ekosistem khusus/endemik atau khas. Kedua, meningkatkan kejadian cuaca ekstrem yang berisiko, berdampak besar terhadap kesehatan manusia, mata pencaharian, aset, dan ekosistem.

Ketiga, sebaran dampak yang tidak merata karena adanya perbedaan tingkat kerentanan berbagai wilayah sehingga kesejangan kesejahteraan antar wilayah akan semakin besar.

Keempat, dampak bencana iklim terhadap kerugian ekonomi semakin meningkat. Kelima, perubahan yang besar yang tiba-tiba dan sulit untuk pulih kembali, seperti disintegrasi Greenland dan hilangnya lapisan es Antartika

Saat ini, keanekaragaman hayati tinggi di Indonesia, mayoritasnya masih di dalam kawasan  konservasi, dan ada juga pada kawasan hutan produksi, hutan lindung dan APL belum diinventarisasi dan diverifikasi dengan maksimal, sehingga belum diketahui yang mana saja yang masih memiliki keanekaragaman hayati tinggi untuk dilindungi.

Selain itu, Kawasan Konservasi masih mengalami tekanan oleh masyarakat, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu fungsi dan perannya sebagai penopang kehidupan.

Tekanan demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya populasi tanaman dan satwa dilindungi.

Semua Ambil Peran

Untuk mengurangi pemanasan global, semua harus ambil peran. Perubahan lingkungan yang nyata bergantung pada kita. Kita tidak dapat bergantung pada para pemimpin kita. Kita harus berfokus pada apa tanggung jawab kita sendiri dan bagaimana kita mewujudkan perubahan ini.”

Dalam hal ini tidak akan ada perubahan tanpa rekonstruksi menyeluruh mulai dari fondasi sampai ke atas. Itu membutuhkan pendidikan kembali secara besar-besaran. Apabila kita sadar akan bahaya perubahan iklim, kita akan tergerak untuk buat perubahan.

Tentang Penulis
Warga biasa. Suka menulis apa saja dalam benak. Isu perubahan iklim jadi salah satu topik yang sangat penulis pedulikan. Dulu suka topik keuangan sekarang lebih suka topik mengenai alam, hutan dan lingkungan. Tanpa alam khususnya tanpa hutan, makanan, air dan oksigen, kita tidak bisa hidup. Tanpa uang kita masih bisa hidup.
Tulisan ini diikutsertakan untuk Karya Jurnalistik tentang Anak 2023 diselenggarakan oleh UNICEF
BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU