THR: Juru Selamat di Tengah Lesunya Belanja Masyarakat?

NINNA.ID-Di sudut pasar tradisional Kota Medan, deretan cabai merah tampak melimpah, tersusun rapi di lapak para pedagang. Harga cabai yang biasanya meroket di bulan Ramadan, kini justru anjlok.

Di tingkat konsumen, harganya menyentuh Rp19 ribu per kilogram. Bagi petani, ini kabar buruk—sebab harga di tingkat mereka bisa jatuh hingga Rp10 ribu per kilogram, jauh di bawah harga pokok produksi (HPP) yang berkisar Rp12 ribu per kilogram.

Penurunan harga cabai merah memang tidak serta-merta menjadi indikator tunggal daya beli masyarakat. Faktor pasokan yang bersifat fluktuatif juga berperan besar.

Namun, jika ingin menakar kondisi ekonomi lebih akurat, daging ayam bisa menjadi barometer yang lebih jelas. Produksi ayam potong lebih terukur dibanding cabai, dan tren harga serta konsumsi daging ayam bisa mencerminkan perubahan pola belanja masyarakat.

HARGA AYAM
edagang cabai di pasar tradisional Kota Medan menyusun dagangannya di tengah turunnya harga cabai merah yang kini menyentuh Rp19 ribu per kilogram.

Lesunya Belanja Ramadan

Ramadan biasanya membawa pola konsumsi khas. Pekan pertama dan keempat menjadi momen lonjakan belanja, sementara pekan kedua dan ketiga cenderung lebih tenang.

Tahun ini, fenomena itu tampak lebih ekstrem—penurunan konsumsi daging ayam di pekan kedua dan ketiga bahkan lebih rendah dibandingkan hari-hari biasa.

Para peternak sejatinya sudah mengantisipasi kemungkinan ini dengan memangkas pasokan ayam hidup sekitar 17% dari pekan sebelumnya. Namun, langkah itu tak cukup menahan turunnya harga.

BERSPONSOR

Di Kota Medan, harga daging ayam kini berada di level Rp30.400 per kilogram, turun dari Rp32.900 per kilogram hanya dalam hitungan hari.

TERKAIT  Timnas Senegal Tekuk Brasil 4-2 dalam Laga Persahabatan FIFA

Bagi para pedagang, ini sinyal bahaya. “Biasanya, menjelang Lebaran orang-orang mulai borong ayam untuk persiapan. Sekarang malah sepi. Mau jualan banyak juga percuma kalau nggak ada yang beli,” keluh seorang pedagang di Pasar Petisah.

THR: Harapan Terakhir Pemulihan Belanja?

Di tengah situasi ini, Tunjangan Hari Raya (THR) diharapkan menjadi penyelamat. Tradisinya, THR yang cair di pekan ketiga Ramadan menjadi dorongan bagi konsumsi masyarakat, menghidupkan kembali pasar yang lesu.

- Advertisement -

Tahun ini, THR tak sekadar tambahan penghasilan bagi pekerja, tetapi juga menjadi ujian bagi ketahanan ekonomi nasional.

Apakah suntikan dana ini mampu mengembalikan gairah belanja masyarakat? Ataukah justru menandakan bahwa daya beli benar-benar melemah hingga akhir 2025 nanti?

Sejauh ini, sinyal di pasar tidak terlalu menggembirakan. Banyak pedagang mengeluhkan minimnya transaksi, bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun.

“Dulu orang beli beras, minyak, dan gula sekalian banyak. Sekarang banyak yang tanya harga, tapi nggak jadi beli,” ujar seorang pedagang sembako di Pasar Sukaramai.

Jika tren ini berlanjut, kita patut waspada. Karena saat masyarakat mulai mengerem belanja kebutuhan dasarnya, itulah pertanda nyata bahwa daya beli sedang berada di ujung tanduk.

THR mungkin bisa menjadi angin segar sementara, tapi apakah cukup untuk menyelamatkan perekonomian? Kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana masyarakat memanfaatkannya di hari-hari mendatang.

Penulis: Benjamin Gunawan
Editor: Damayanti Sinaga

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU