Tentang Desa Kanibal di Huta Siallagan

NINNA.ID – Itu pada Juni 2017. Saat itu, saya ikut pentas keliling Opera Batak bersama Pusat Latihan Opera Batak (PLOt). Saya dengan tim tidur di Rumah Bolon. Sampai larut malam, saya bercerita dengan seorang warga kampung. Dia bercerita bahwa Huta Siallagan adalah kampung raja. Tidak raja biasa. Dengan semangat, ia bercerita seperti itu.

Berceritalah ia tentang seorang tokoh yang hanyut di Danau Toba. Jasadnya susah diketemukan. Bercerita ia tentang orang yang sering dipasung. Katanya, ia tawanan. Ia musuh. Tawanan itu bisa siapa saja. Termasuk orang Batak, bahkan tetangga kampung. Ia berkata, tak bisa sembarangan orang masuk kampung karena ini kerajaan.

Dia lalu bercerita tentang pangulubalang. Pangulubalang ini ditempatkan di pintu masuk kampung. Bentuknya batu besar. Tetapi, ia tak sembarang batu. Ia berjiwa. Ada kekuatan mistis. Saya sih percaya saja. Dahulu kala, iman kita mungkin masih kuat. Tuhan masih dekat. Iblis pun. Karenanya, doa dan serapah seperti gampang terdengar.

Tiba-tiba mereka bisa meminta Tuhan menghentikan hujan. Atau mendatangkan hujan. Tiba-tiba, mereka bisa mengangkut batu besar. Tidak pakai traktor. Belum ada traktor pada masa itu. Batu besar pun cukup ditarik dengan benang berwarna tiga: hitam putih, merah. Tidak logis. Namun, itulah kekuatan mistis. Tuhan masih dekat.

BERSPONSOR

Ada bentuk lain. Seseorang bisa mengirimkan penyakit. Entah lewat apa. Tanpa bersentuhan, seseorang nun jauh di sana bisa meradang. Tuhan tak pernah bersabda untuk saling menyakiti. Maka, sudah pasti itu bukan pekerjaan Tuhan. Namun, Tuhan agaknya fair. Ia tak mencampuri urusan iblis. Karena itu, meski Ia sanggup menghukum iblis, Ia tak melakukannya.

Dia masih bercerita. Bulan tak nampak. Hanya terlihat bintang. Itu pun terhitung. Kami duduk di bawah pohon beringin, tepat di Kursi Parsidangan. Begitu mereka menamainya. Udara sangat dingin. “Jadi, kursi ini dulu tempat bersidang. Di sinilah mereka memutuskan banyak hal. Termasuk untuk memasung atau membunuh musih,” katanya.

TERKAIT  Festival Meriam Bambu pada Natal & Taon Baru di Tanah Batak

Dia suka bercerita. Ia ceritakan lagi tempat pembantaian musuh. Konon, setelah dibunuh, jantungnya dimakan dan darahnya diminum. Saya tak merinding. Saya terkadang memainkan otak rasional. Jadi, menurut saya, apa yang ia ceritakan hanyalah bumbu-bumbu supaya saya tertarik. Malam sudah larut. Ia masih ingin bercerita. Itulah pertama kali saya ke sana.

Esoknya, kami memainkan opera Batak. Di sela-sela pertunjukan, pemandu wisata antusias bercerita. Semua yang diceritakan kepada saya, diceritakan juga pada pengunjung. Saya tertawa dalam hati. Mengapa mereka bangga bercerita seperti itu? Apakah ini kebenaran atau hanya bumbu supaya pengunjung semakin ramai?

BERSPONSOR

Kalau menurut saya sih, terserah bagaimana orang mencari uang selagi itu masih halal. Namun, apakah menjadikan bumbu cerita seperti ini halal? Katakan, misalnya, bahwa orang Batak kanibal? Saya tak sepakat. Tetapi, saya tidak protes. Mungkin itu hanya kebetulan saja di dua hari itu diceritakan: tadi malam dan hari ini.

Masih pada tahun 2017. Kali ini merayakan hari Kemerdekaan RI. Pengunjung sangat ramai. Pemandu masih sama. Ceritanya pun persis. Saya tersenyum dalam hati. Separah itukah hanya untuk mencari uang? Saya sih tak tahu kebenaran. Saya hanya tahu, orang Batak adalah manusia beradab. Mungkin saja membunuh, tetapi bukan malah kanibal.

Saya tak pernah ke sana lagi. Terakhir saya ke sana pada 2021. Itu pun karena teman. Saya tak tertarik lagi mendengar cerita itu. Bagi saya itu tak benar. Apalagi kalau disebut bahwa leluhur Batak adalah kanibal. Saya tak menemukan bukti cerita seperti itu. Kecuali pada kisah di Siallagan. Atau, mungkinkah leluhur Siallagan adalah kanibal?

Penulis   : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor       : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU