HUMBAHAS – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Humbang Hasundutan memasukkan Tabbok Asse dalam paket pariwisata Humbang Hasundutan. Namun, fotonya sudah tak mewakili fakta. Foto itu adalah rawa baru yang muncul kemudian. Setidaknya, begitu warga setempat mengakui.
Pada 2019 silam, Thompson Hs menginisiasi Forditas (forum diskusi terbatas) selama setahun penuh untuk membincangkan dinasti Sisingamangaraja di Balai Arkeologi Sumatera Utara. Hasil diskusi itu kemudian dibukukan Thompson Hs dengan judul: Sisingamangaraja, Pemersatu Batak di Toba.
Buku inilah yang menjadi salah satu pemantik untuk diadakan penelitian di Baktiraja selama 5 tahun. Penelitian ini diketuai oleh Defri Elias Simatupang dan sudah berlangsung pada pertengahan Agustus kemarin hingga minggu pertama September. Banyak temuan yang menarik dan potensial, seperti koin logam tua yang kini sedang dianalisis.
Nah, pada Forditas kemarin, saya lantas mendengar Tabbok Asse. Saya berasal dari Humbang Hasundutan, tepatnya di Hutapaung, Kecamatan Pollung. Tabbok Asse sendiri ada di Hutapaung. Namun, meski sering saya lewati setiap pagi ketika sekolah di SLTP St.Lusia Doloksanggul (dulu memang disebut SLTP), saya tak dan belum mengenal Tabbok Asse.
Dari sana saya kemudian sadar: orang tua kita kurang peduli pada sejarah. Sebesar sejarah Tabbok Asse dan tak ada orang yang tahu, bagi saya itu sebuah kemunduran. Dan, begitulah faktanya. Ketika saya menuliskan cerita rakyat berjudul “Hikayat Tabbok Asse di Hutapaung” dengan mengadakan sedikit studi etnografi, kebanyakan orang muda, bahkan paruh baya tak tahu tentang Tabbok Asse.
Singkat cerita, kini hasil studi etnografi sekilas saya itu sudah dibukukan. Konon juga sudah dibagi-bagikan ke sekolah di wilayah Humbang Hasundutan? Bagaimana buku itu berdampak? Untuk mengetahuinya, saya mencoba bertanya-tanya pada orang kecil di desaku. Di desaku ada dua SD. SD 2 Hutapaung, satunya lagi SD 1 Hutapaung. Saya tamat dari SD 2 Hutapaung.
SD 2 Hutapaung sekitar 1 km dari lokasi Tabbok Asse. Di depan, saya melihat anak-anak bermain. Mereka memberi hormat: “selamat sore, Pak”. Saya selalu merasa bangga. Meski saya tak pernah mengajari mereka dan sudah pasti tak memberi tahu kepada mereka bahwa saya seorang guru, ternyata mereka tahu saya guru. Mereka hampir selalu menyapa saya demikian.
Suatu ketika di sore yang tanggung, saya hentikan sepeda motor saya. Lalu, saya bertanya kepada mereka tentang apakah tahu Tabbok Asse? Semua bengong. Tandanya mereka tidak tahu. Saya belum yakin. Saya tantang mereka dengan imbalan. Jika tahu, akan saya berikan hadiah, ujar ku. Oh, ternyata tak satu pun dari mereka yang tahu.
Dari sana saya paham, buku itu tak dibaca. Kecurigaan saya juga mengular: jangan-jangan perpustakaan di sekolah mereka tak pernah dibuka atau siswa tak pernah diarahkan ke perpustakaan. Jika dan hanya memang jika buku saya itu sudah ada di perpustakaan dan mereka melihatnya, sangat mungkin mereka akan terperanjat karena ada nama kampungnya di sana: “Hutapaung”.
Itu suatu ketika. Lagipula, generasi saat ini memang cenderung malas membaca. Orang tua pun terkesan ogah bercerita. Jadi, ketidaktahuan mereka bisa diwajarkan. Tapi, sampai kapan? Kini, saya sudah berada di radius 100 meter dari Tabbok Asse. Berarti sudah hampir sekilometer dari tempat tadi. Mereka tak menyapa saya. Sebab, ini sudah jalan besar. Ada begitu banyak sepeda motor berseliweran. Tak mungkin mereka menyapa setiap pengendara bukan?
Saya hentikan sepeda motor. Anak-anak mulai direbut perhatiannya. Saya mengisyaratkan agar mereka mendekat. Tanpa kata-kata, mereka sudah di sekitarku. Saya buka helm merah saya lalu bertanya: apakah kalian tahu di mana Tabbok Asse? Mereka memasang wajah kebingungan. Menyenangkan sekali melihat anak kecil bingung bukan?
Baiklah. Barangkali mereka belum bersekolah. Tetapi, saya ragu. Lalu saya tanya: di mana sekolah kalian? Mereka serentak menjawab di SD 1 Hutapaung. Saya tertawa dalam hati. Lalu, di akhir saya berpesan: jika mau masuk ke sekolah kalian dan ada rawa kecil, coba perhatikan adakah Tabbok Asse dituliskan?
Saya beri tahu demikian karena SD 1 Hutapaung boleh dikatakan tetangga dekat dengan Tabbok Asse. Kini, di sana sudah ada pula plakat seadanya dengan tulisan: Tabbok Asse. Tidak besar dan tidak mencolok. Namun, jika diperhatikan, sangat jelas untuk dibaca. Saya lalu berakhir pada kesimpulan bahwa generasi SD saat ini sudah tak peduli dengan tulisan-tulisan yang dipajang di jalanan, konon lagi buku di perpustakaan?
Hari mulai dingin. Saya dan istri pulang dan kembali ke Doloksanggul. Saya melewati Tabbok Asse. Tepat di samping Tabbok Asse itu ada kedai. Banyak orang tua laki-laki di sana. Kebiasaan lelaki memang begitu: suka berkerumun. Banyak hal yang mereka bincangkan. Mereka sangat cerdas hingga bisa berdebat mengalahkan debat di TV.
Tetapi kelemahannya, mereka lupa memberi tahu sesuatu yang berharga di tempatnya. Ada banyak motif. Barangkali untuk apa berbicara masa lalu? Kita harus fokus pada masa depan. Ada benarnya. Selalu ada pembelaan kita untuk setiap tindakan kita bukan? Tetapi, apakah salah membicarakan masa lalu sebagai kekayaan pikiran untuk masa depan? Saya rasa tidak.
Sudah semakin gelap. Tabbok Asse semakin jauh di belakang kami. Saya merenungkan bagaimana puluhan orang Aceh yang dulu membantu Sisingamangaraja XII mengambil air wudu di sana. Sebab, tempat itu dinamai Tabbok Asse memang karena tempat itu khusus untuk prajurit pembantu Sisingamangaraja dari Aceh. Mereka semua Islam. Tetapi, di mata kebenaran yang sejati, agama tak menjadi identitas.
Tabbok Asse makin jauh di belakang. Kini ia sepi dari sejarah. Ia menjadi rawa biasa. Kadang saya berpikir: apakah memang betul Tabbok Asse ini dulu adalah tempat pasukan pembantu Sisingamangaraja dari Aceh? Kebenaran belum ditutup. Kemungkinan itu besar adanya. Sebab, pada akhirnya, Sisingamangaraja berperang bukan dari Bakara lagi. Kadang ia di Lintong. Ia bergerak juga ke Hutapaung. Bahkan, di sana ada bukit doanya.
Tabbok Asse semakin dan semakin jauh. Aku sudah hampir tiba di Doloksanggul. Terngiang kembali kebingungan wajah anak-anak itu di kepala saya karena ketidaktahuan mereka tentang Tabbok Asse itu. Andai semua kanak demikian, maka Tabbok Asse akan menjadi rawa biasa. Tanpa cerita, apalagi sejarah. Saya pribadi tak mau itu terjadi. Maka, saya tiba-tiba bermimpi, andai saja ada pementasan kecil di sana berupa Opera Batak?
Saya berpikir begitu karena tulisan di plakat itu tak juga memberi dampak. Tulisan di buku yang saya buat juga agaknya tak menarik perhatian. Lalu, bagaimana jika kita merekonstruksi atau paling tidak merekayasa sebuah cerita tentang lokasi itu supaya Tabbok Asse kembali bisa dikenang. Bahkan, jangan jangan dengan pementasan kecil, orang-orang tua akan terpikat untuk memberi informasi baru? Sebab, seperti tadi, kebenaran tentang Tabbok Asse belum ditutup. Semoga saja ada cara kita untuk mencari tahu sebelum akhirnya kebenaran sudah ditutup.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang