NINNA.ID-Penundaan kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) selama 90 hari memberi waktu bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan negosiasi.
Tujuannya adalah agar AS bersedia menurunkan, atau bahkan membatalkan tarif impor sebesar 32% yang rencananya akan diberlakukan kembali setelah masa penundaan berakhir.
Akan tetapi, pemerintah perlu berhati-hati agar negosiasi ini tidak justru merugikan ekonomi nasional atau membuat Indonesia semakin tergantung pada AS.
Salah satu langkah yang sebaiknya dihindari adalah memberi tarif 0% untuk produk-produk dari AS.
Kebijakan ini mungkin terlihat adil dan bisa memperbaiki hubungan dagang, tapi dalam praktiknya justru bisa merugikan kita.
Contohnya, Vietnam pernah mengusulkan hal serupa, namun ditolak oleh AS.

Jika Indonesia menetapkan tarif 0% untuk produk AS, maka barang-barang dari AS akan lebih mudah masuk ke pasar Indonesia.
Hal ini bisa sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri, terutama petani. Produk pertanian lokal, seperti kedelai, akan sulit bersaing dengan produk impor dari AS.
Sementara itu, pasar kita bisa dibanjiri barang-barang impor, dan industri lokal akan semakin tertekan.
Memang, ada kemungkinan beberapa harga barang menjadi lebih murah bagi konsumen.
Tapi dampaknya, ekonomi Indonesia bisa kehilangan kedaulatannya. Ketergantungan ini bisa membuat kita dikendalikan oleh negara lain.
Selama masa negosiasi 90 hari ini, pemerintah perlu memilih strategi yang bijak dan tidak “menggadaikan” kepentingan ekonomi nasional.
Kebijakan Presiden Prabowo yang belakangan mencabut aturan kuota impor bisa dilihat sebagai sinyal pendekatan lunak terhadap AS.
Namun, langkah ini belum tentu cukup untuk membuat AS puas, dan malah bisa merugikan petani lokal.
Karena itu, dalam menyusun strategi negosiasi ke depan, pemerintah sebaiknya tidak menerapkan tarif 0%, dan juga tidak terburu-buru melawan AS secara frontal seperti yang dilakukan China.
Kuncinya adalah negosiasi yang cerdas, seimbang, dan tetap menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.
Penulis: Benjamin Gunawan
Editor: Damayanti Sinaga