Tarabintang: Kaya Belum dari SDM

NINNA.ID-Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Tarabintang mungkin tahu. Namanya Sakto Frans Situmorang. Kebetulan, saya guru pendamping praktik beliau.

Saya datang ke sana melakukan pendampingan. Bercerita kami sekilas tentang pendidikan.

“Sosial budaya di sini banyak yang menarik,” begitu ia membuka. Dia tahu saya suka budaya. Pegiat budaya itu kaya. Kaya pengalaman dan pendengaran.

Semua kebudayaan dipandang sebagai hak milik kebudayaan. Tak perlu merasa kehilangan.

BERSPONSOR

Pegiat budaya juga punya banyak pendengaran. Dari ilham, pun dari orang lain. Maka, tak menarik menggosipi mereka. Ada banyak telinga yang mendengar.

Ada banyak mulut yang akan menyampaikan. Berita pun tersalur.

Tapi, mereka biasanya tak peduli. Budaya milik budaya, bukan bisnis, apalagi pribadi. “Apakah banyak di sini batuan-batuan khas, Pak?” Sakto menjawab tidak. Saya kurang percaya.

Dalam insting saya, ada banyak misteri di sini. Itu perasaan saya. Saya bukan dukun.

BERSPONSOR

Maka, saya tak bercerita tentang itu lagi. Bagi saya jelas, wilayah ini penuh dengan misteri budaya. Perlu disingkap dan diungkap. “Tapi, menarik di Tarabintang ini. Umumnya masyarakat berada (kaya) belum dari pendidikan,” ujarnya.

Saya membuat kesimpulan. Mereka berarti masih tradisional. Mereka masih mengandalkan keharmonisan alam.

Pantas Tarabintang masih sangat asri. Belum ada otak yang selalu ingin mengklaim. Otak seperti ini harus diatasi dengan pendidikan.

Tanpa seperti itu, cerita rakyat bisa diklaim jadi miliknya. Anonim jadi bernama. Nama dirinya sendiri.

- Advertisement -

“Siswa-siswa kami tak tertarik belajar di sekolah. Tapi, disuruh berkreasi, proyek lingkungan, berkegiatan seni dan budaya, mereka tertarik,” ucapnya.

TERKAIT  Indonesia Terancam, Biodiversitas, Kekuatan atau Keruntuhan?

Saya memberi pandangan lain. Belajar itu tidak soal di sekolah. Bersekolah tak sama dengan belajar. Dilihat dari umur, sekolah masih belia.

Sementara itu, belajar sudah berumur tua. Sejak ada manusia, belajar sudah ada pula. Jangan dibantah.

Saat itu, manusia belajar dari dan dengan alam. Mereka berburu. Semula berburu tanpa alat. Kemudian berburu dengan alat.

Semula dengan batu-batu kasar. Kemudian dengan logam-logam yang pipih. Semula berpindah-pindah. Kemudian bertahan di suatu tempat.

Mereka mulai bertani. Mereka mulai paham membaca untuk apa ada hujan. Untuk apa ada matahari. Mereka belajar mengusahakan tanah.

Mereka tak lagi membiarkan biji jatuh ke dalam tanah begitu saja dari pohonnya. Mereka sudah menggemburkan tanah.

Beda dengan belajar, sekolah sebenarnya masih sangat belia. Institusi yang disebut sekolah masih berumur 200-an tahun.

Harvard berumur 400-an tahun. Ironisnya, sejak kelahiran institusi sekolah itu, belajar dibuat menjadi hak paten sekolah.

Jadi, saya katakan kepada Sakto, anak-anak di sana harus diajar sesuai alam dan tradisi. Kaya karena alam lebih baik daripada kaya karena keserakahan.

Serakah itu jahat. Kata Mahatma Gandhi, cukup 7 orang serakah, bumi ini jadi tak cukup.

Keserakahan bermula dari pikiran. Mereka semula mengklaim. Lalu mengubah jadi hak milik. Kemudian mencuri.

Akhirnya mengeskpoitasi. “Lanjutkan dengan pola belajar seperti itu. Itu justru kekayaan Kurikulum Merdeka,” begitu aku membuat penegasan.

Penulis: Riduan Situmorang
Editor: Damayanti Sinaga

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU