NINNA.ID – Saya hanya sedang berdiskusi. Saya masih muda. Karena itu, jika mungkin pada esai singkat ini banyak kesalahan, mohon dimaklumi dan mohon saya diberitahukan. Saya juga ingin tahu lebih banyak. Jadi, mohon jangan dipikir esai ini berasal dari pakar. Saya hanya sedang ingin dan ingin belajar. Baiklah, saya mulai dari sini: tanggal orang Batak pada tahun baru tidak selalu tetap.
Jika dibandingkan dengan kalender Masehi, akan selalu ada pertukaran waktu. Sebagaimana diketahui, ada dua jenis kalender tahunan orang Batak. Satu ada dengan 12 bulan. Satunya lagi ada 13 bulan. Dalam versi 12 bulan, maka ada 360 hari. Berbeda dengan kalender Masehi (365-366) tahun. Sementara itu, dalam versi 13 bulan, bulan ke-13 berisi 11 hari. Tahun dengan 13 bulan ini muncul pada tahun keempat.
Artinya, melihat pada kalender Masehi, ini seperti tgl 29 Februari yang tak selalu muncul tiap tahun. Namun, bulan ke-13 ini cukup berbeda dengan skema tahun Masehi. Pada bulan ke-13, jumlah harinya ada 11 hari. Bulan ke-13 ini disebut juga bulan kudus (nabadia). Nama bulannya adalah bulan “Lamadu”. Sementara itu, bulan ke-12 adalah “Li” (hala) dan ke-11 disebut “hurung”. Bulan 1-10 tidak punya nama khas.
Bulan 1, misalnya, disebut “sipaha sada” dan bulan 10 disebut “sipaha sappulu”. Yang menarik, nama hari pada orang Batak tidak hanya 7. Nama hari ada 30. Ketiga puluh nama hari itu adalah: Artia, Suma, Anggara, Muda, Boraspati, Sikkora, Samisara, Artia Ni Aek, Suma Ni Anggara, Anggara Sampulu, Muda Ni Mangadop, Boraspati Langkop, Sikkora Lambok.
Kemudian, disambung lagi: Samisara Purnama, Tula, Suma Ni Holom, Anggara Ni Holom, Muda Ni Holom, Boraspati Ni Holom, Sikkora Mora Turun, Samisara Mora Turun, Artia Ni Anggara, Suma Ni Mate, Anggara Ni Begu, Muda Ni Mate, Boraspati Na Gok, Sikkora Hundul, Samisara Bulan Mate, Hurung dan Ringkar. Nah, dari sana kita ketahui bahwa hari pertama orang Batak adalah artia dan kedua adalah Suma.
Karena itu, muncullah pantun Batak (umpasa) berbunyi demikian: artia Bona ni Ari, sipaha Sada mula ni bulan; sai dapot ma nasinari, jala jumpa ma na niluluan.
Konon, dari kalender inilah kita mengetahui hari buruk dan hari baik. Dari sanalah muncul istilah maniti ari. Arti maniti ari adalah melihat apakah hari itu baik atau tidak dalam melangsungkan pesta atau melakukan kegiatan lainnya. Konon, jika kena pada gambar kalajengking, harinya buruk.
Kini, kalender Batak itu tak dikenal lagi. Perayaan tahun Baru Batak pun tak ada lagi. Dulu juga memang, saya tak pernah merayakan tahun baru Batak. Sebab, tahun baru Batak tidak berada pada tanggal yang tetap. Tahun baru Batak tidak seperti hari natal yang selalu jatuh pada 25 Desember atau tahun baru Masehi pada setiap tanggal 1 Januari. Namun, yang pasti, tahun Baru Batak pasti berada pada kisaran Minggu akhir bulan Februari hingga Minggu awal bulan Maret.
Artinya, tahun Baru Batak umumnya jatuh pada mendekati Maret. Sesuatu yang mungkin aneh karena itu sudah bulan yang ketiga. Tetapi, jika dipikir-pikir, bahkan bulan pertama tahun Masehi ternyata bukan Januari. Januari adalah bulan ke-11 dan Februari adalah bulan ke-12. Itu kalau dilihat dalam perhitungan angka. Sebab, Desember (disesuaikan dengan desimal) berarti adalah 10. Desember berarti bulan ke-10.
Oktober dekat dengan okta, yaitu delapan. Septima berarti ketujuh. Begitulah hitungannya secara nomenklatur sehingga jika dihitung dari 12 bulan dalam setahun, maka boleh saja tahun baru Masehi adalah Maret dan bukan Januari. Mirip seperti konsep kalender Batak. Tetapi, ternyata tidak selalu begitu. Selalu ada alasan untuk penamaan bulan, termasuk penamaan bulan pada kalender Masehi.
Januari misalnya diambil dari nama seorang dewa dalam mitologi Romawi. yaitu Dewa Janus. Dalam mitologi bangsa Romawi, Dewa Janus adalah Dewa Permulaan dan Akhir. Nama Janus sendiri asalnya dari Ianus yang dalam bahasa Latin artinya adalah pintu. Dewa Janus adalah adalah raja Latium, wilayah yang ada di tengah negara Italia.
Jika biasanya Dewa-dewa Romawi memiliki nama lain dalam mitologi Yunani, Dewa Janus ini asalnya memang dari mitologi Romawi. Dewa Janus sering digambarkan memiliki dua kepala yang melambangkan kemampuannya melihat ke masa depan, masa lalu, ke dalam, dan ke luar. Nah, bagi bangsa Romawi, bulan Januari adalah bulan yang penting karena dinamai dari Dewa Janus.
Lalu, mengapa kiranya tahun Baru Batak tidak diambil dari Januari, malah cenderung ke akhir Februari atau awal Maret? Semoga ada yang menjapri saya ke nomor ini: 082164358081 sebagai bahan refleksi, perluasan, sanggahan, untuk tulisan edisi esai selanjutnya. Yang pasti, jika diibaratkan sebagai tahun Baru dan Natal, tahun Baru Batak pasti tak punya tanggal yang tetap. Itu seperti tahun baru Hijriah yang selalu berbeda tanggalnya dari tahun ke tahun.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang