NINNA.ID – Berbahagialah orang Batak karena kita punya pengalenderan sendiri. Total harinya per tahun adalah 360 hari untuk tiga tahun dan 375 untuk tahun keempat. Rupa-rupanya, semakin ke sini, orang Batak mulai bangga pada dirinya. Bangga sekali sehingga mulai muncul ide untuk merayakan Tahun Baru Batak. Perayaan atas konsep Tahun Baru Batak ini tentu rumit.
Kita pasti harus melihat sejak kapan titik tahun nolnya? Mengingat tak banyak data sahih untuk mendukung, adalah sebuah kewajaran jika orang saling berdebat. Namun, perdebatan seharusnya bukan untuk menghalangi kita melangkah. Toh, jika validitas tanggalnya masih meragukan, maka sebaiknya langsung eksekusi saja. Biarkan perdebatan datang menyusul.
Harus dipahami, jika fokus mencari, lama-lama kita bisa kehilangan arah. Mencari ke banyak arah benar adanya. Namun, jika membaca banyak arah itu membuat kita ke banyak informasi yang berbeda, jatuh-jatuhnya akan tak ada pergerakan. Jadi, di masa banyak informasi yang kesahihannya belum tentu akurat, hal pertama yang harus dilakukan ya langsung aksi atau eksekusi. Biarkan keilmiahan datang melengkapi.
Baiklah, mari berangkat dari judul tulisan ini: tahun Baru Batak dihitung sejak kapan? Kalau pertanyaannya demikian, berarti kita mencari titik nol, bukan kilometer nol. Sepertinya keduanya sama saja. Tetapi, saya melihatnya berbeda. Titik nol lebih kepada waktu kapan bermula, sementara kilometer nol cenderung pada darimana bermula. Bukan berarti titik nol tak bisa sama momennya dengan kilometer nol.
Artinya, jika sejauh ini cenderung dipahami bawah kilometer nol Batak ada di Pusuk Buhit, berarti ada juga kemungkinan titik nol dimulai dari peradaban di sana. Jadi, tak menutup kemungkinan titik nol sama momennya dengan peradaban di kilometer nol. Justru, besar kemungkinan untuk itu. Maksud saya, nol ini sebenarnya dimulai dari mana: dari sejarah marga-marga atau sejarah sebelum itu?
Jika dari sejarah marga-marga, maka kalender kita masih relatif muda. Dilihat dari generasi marga, ditarik dari tokoh konsensus Si Raja Batak, umumnya masih berada pada 25-30. Itu hitungan paling jauh menurut saya. Itu artinya Batak dengan sejarah marga masih baru, sekitar 500-700 tahunan. Jika dihitung dari sana, berarti tahun nol Batak dimulai dari tahun 1300-1500-an. Tetapi, apakah kita sepakat menghitungnya dari sana?
Bisa saja, apalagi jika ambisi kita agresif: eksekusi dulu, diskusi menyusul. Sebab, dalam penelitian Balai Arkeologi di Pusuk Buhit pun, kurang lebih hasilnya sama, yaitu pada kisaran tahun 1400-an atau 600 tahun yang lampau. Nah, apakah kita mulai dari sana? Kalau menghitung dari sana, berarti Batak masih sangat muda. Tetapi, Batak dengan sejarah marga-marga tentu berbeda dengan peradaban Batak. Peradaban Batak jauh lebih lama.
Prakiraan logisnya bisa diambil dari Barus yang kini sudah diresmikan sebagai titik nol Islam Nusantara. Sejurus dengan itu, peradaban di sekitar Barus juga diberitakan sudah sangat lama, bahkan lebih lama dari Barus, tepatnya di Situs Bongal Sijagojago. Itu masih yang tampak. Tentu, kita pasti mahfum bahwa lebih banyak yang tidak tampak daripada yang tampak sehingga lebih banyak yang tak diketahui daripada yang diketahui.
Saya pernah membaca sebuah artikel yang konon mengutip Peter Bellwood dalam sebuah bukunya. Konon, buku itu didasarkan pada analisis Pollen, sebuah analisis untuk melihat ativitas kehidupan. Konon, dalam analisis itu, sekitar 5.000-6.000 tahun yang lampau sudah ada aktivitas manusia di tepian Barat Danau Toba. Tepian Barat berarti mengarah ke Humbang Hasundutan.
Artinya, jika sudah ada aktivitas kehidupan pada tahun 4000 SM (empat ribu tahun sebelum Yesus lahir), sudah ada pula tentunya kehidupan di tepi Barat Danau Toba. Mungkin, saat itu, permukaan danau masih tinggi. Barangkali masih di puncak gunung karena tren permukaan danau ternyata selalu menurun. Maksud saya, ini juga bagian dari civilization, proses keberadaban Batak. Jadi, tak bisa kita memutuskan bahwa peradaban Batak masih 500-700 tahun yang lampau.
Bahwa Batak bermarga masih muda dengan 20-30 generasi, kita bisa berterima tanpa mengesampingkan bahwa tetap ada kemungkinan penghilangan generasi.
Satu yang pasti, Batak sebagai peradaban tak muncul 500-700 tahun yang lampau. Ini pasti berkaitan dengan Barus atau Situs Bongal di Sijago-jago. Ini masih asumsi, tetapi saya pikir cukup logis. Tak mungkin kita lahir sebagai Batak dari langit begitu saja.
Ya, ada istilah yang mengatakan: jatuh dari langit atau pecah dari bambu. Namun, ini hanya simbol. Simbol bahwa ada mungkin silsilah yang hilang. Hal yang sama juga dengan Si Raja Batak. secara genealogis, ia keturunan Tantan Debata. Tantan Debata keturunan Raja Miok-Miok. Raja Miok-Miok keturunan Raja Ihat Manisia. Di atasnya masih ada yang bisa dirujuk, mulai dari Si Boru Deak Parujar, Raja Odap-Odap, hingga Manuk Hulambujati.
Itu secara sejarah lisan. Namun, kesemuanya saya pikir lebih pada simbol sebab mereka ternyata bukan manusia pada umumnya. Mereka ibarat peri atau makhluk bukan dari dunia. Mereka makhluk langit. Sebab, rupanya manusia suka menjadikan langit sebagai simbol atas ketidaktahuannya atau kerumitannya. Maksudnya terang, mari kita putuskan: titik nol Batak dimulai dari Batak bersilsilah atau dari Batak Sebelum Silsilah? Itu dulu.
Penulis     : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor        : Mahadi Sitanggang