Samosir, NINNA.ID – Di tengah panorama indah Danau Toba yang mendunia, tersembunyi kisah perjuangan komunitas pemandu wisata lokal yang nyaris tak terdengar.
Mereka adalah anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Samosir—para pemuda hingga masyarakat setempat yang punya kecintaan mendalam pada tanah kelahiran dan semangat membagikannya pada wisatawan.
Namun, di balik senyum mereka saat memandu, tersimpan kegelisahan: merasa tersingkir di daerah sendiri.
“Kami hanya ingin diberdayakan, bukan digantikan,” kata Daniel Manik, salah satu pengurus HPI Samosir, dalam sebuah pertemuan komunitas yang membahas nasib para pemandu lokal baru-baru ini di bulan April 2025.
Ketika Daerah Sendiri Tak Memberi Ruang
Selama bertahun-tahun, rombongan wisatawan—terutama dari luar daerah dan luar negeri—lebih sering menggunakan masyarakat dari luar Kawasan Danau Toba.
Mereka datang dengan paket lengkap, mulai dari tour leader hingga pemandu, tanpa melibatkan SDM lokal. Akibatnya, pemandu lokal nyaris tak punya ruang untuk berkembang.
“Ada begitu banyak travel agent tidak menggunakan pemandu lokal,” keluh seorang anggota HPI bernama Manogu Sinaga.
Mirisnya, mereka justru merasa lebih dihargai ketika menjadi volunteer atau freelance guide untuk tamu internasional secara mandiri. Tapi saat tamu datang lewat travel besar, mereka hanya jadi penonton.

Tak Hanya Soal Uang, Ini Soal Martabat
Bagi para pemandu lokal, perjuangan ini bukan semata soal pendapatan. Ini soal pengakuan dan ruang untuk berkontribusi. Mereka punya pengetahuan budaya yang tak bisa dipelajari dari buku, punya cerita lokal yang bisa hidup kembali lewat bimbingan mereka.
“Kami ini tuan rumah, tapi seperti tidak dianggap,” ujar salah satu pemandu Lorista Limbong yang aktif menawarkan jasa sebagai pemandu gunung.
Komunitas HPI Samosir kini berinisiatif menggelar pelatihan tour leader, menggandeng pengusaha lokal, hingga mencoba merangkul dinas-dinas terkait. Tapi dukungan masih terbatas.
Ketiadaan Payung Hukum dan Minimnya Proteks
Masalah ini diperparah oleh ketiadaan regulasi yang melindungi hak dan peran SDM pariwisata lokal.
“Kalau ada Perda atau minimal edaran yang mengharuskan travel agent kerja sama dengan lokal, situasinya bisa berubah,” ungkap anggota HPI Samosir lainnya.
Tanpa itu, mereka tetap kalah bersaing dan terus-menerus tertinggal.
Meski merasa tertindas, mereka tidak menyerah. HPI Samosir terus bergerak. Mereka belajar sendiri, membuat jejaring, bahkan siap membuka ruang untuk kolaborasi dengan pihak luar—asal tetap melibatkan lokal.
“Kami bukan anti pendatang. Tapi kami ingin ada sinergi, bukan dominasi,” tegas Daniel.
Mereka percaya bahwa pariwisata Samosir hanya akan benar-benar bermakna jika masyarakatnya ikut tumbuh bersama.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga