NINNA.ID–Saya masih ingat betul, sore itu pada Senin 21 April 2025 matahari belum tenggelam ketika saya memberanikan diri menyampaikan satu demi satu keresahan saya kepada Bapak Agustinus Panjaitan Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara.
Bukan pertama kalinya saya menyuarakan harapan dari kami—pelaku wisata lokal di Samosir—tapi kali ini, saya ingin ia benar-benar mendengar.
Kami tidak datang untuk mengeluh. Kami datang dengan niat dan rencana yang jelas: meminta dukungan transportasi untuk pelatihan tour leader dan pemandu wisata lokal.
Bukan dana, bukan proposal penuh angka—cukup satu: bantuan armada. Karena menyewa bus bagi komunitas kami bukan perkara ringan. Mahalnya biaya kerap membuat mimpi-mimpi kami mentok di angan.
“Kami nggak minta uang, Pak. Kami cuma minta support armada transportasi. Karena kalau sewa bus itu, ya bengek juga, Pak,” begitu saya bilang padanya. Dan saya serius.
Saya menghabiskan masa kecil di Tanah Batak dan kini berKTP Samosir, dan telah bertahun-tahun mendampingi wisatawan mancanegara menjelajahi Sumatera Utara.
Saya tahu betul rute-rute favorit mereka: dari Bandara Kualanamu ke Bukit Lawang, lalu ke Berastagi, dan akhirnya Samosir. Tapi Samosir sering kali menjadi titik lemah.
Di musim libur, turis berdatangan, tapi pemandu lokal nyaris tak cukup.
Kami punya banyak anak muda yang semangat belajar. Tapi bagaimana mereka bisa jadi pemandu, kalau mereka tak tahu sejarah dan cerita yang membentuk tanah ini?
Maka dari itu, pelatihan ini penting—bukan sekadar duduk di ruang kelas, tapi field training sungguhan.
Kami ingin mereka ikut dalam simulasi perjalanan selama enam hingga tujuh hari, melalui rute-rute yang biasa dijual oleh travel agent asing.
Kami ingin mereka bukan sekadar menemani, tapi menjadi duta budaya, pencerita sejarah, dan penjaga kearifan lokal.
Untungnya, Pak Agustinus mendengarkan dengan kepala dingin.

“Usulan seperti itu bisa saja disampaikan dari komunitas, asal inline dengan program pemerintah. Dinas akan tampung jika ada potensi dan kebutuhan,” jawabnya. Masih normatif, memang. Tapi saya melihat secercah kemungkinan.
Namun, pelatihan hanyalah bagian dari masalah yang lebih besar. Yang membuat saya resah selama ini adalah bagaimana pemandu wisata lokal seringkali hanya jadi penonton di kampung halamannya sendiri.
Travel agent dari luar daerah datang, membawa turis, mengambil peran, bahkan bercerita tentang budaya Batak dengan versi mereka sendiri—sering kali keliru.
Di Bukit Lawang, saya melihat aturan yang tegas: wisatawan asing harus ditemani guide lokal. Tapi di Samosir? Siapa saja bisa jadi pemandu, tanpa izin, tanpa kontrol, tanpa pemahaman. Akibatnya, banyak tamu yang pulang membawa cerita keliru tentang kami.
Saya pernah dengar seorang pemandu dari luar menyebut bahwa Toba itu artinya “kesedihan.” Padahal bukan. Tapi siapa yang meluruskan? Kami bahkan tak diberi ruang.
“Apa dasarnya saya mau larang? Saya bukan siapa-siapa, dan hukum enggak lindungi kami,” kata saya saat itu. Dan itu kenyataan.
Tanpa regulasi, kami hanya bisa berharap. Tapi harapan itu bukan ilusi. Jika Samosir bisa menjadi contoh, saya yakin kabupaten lain seperti Dairi, Humbahas, Toba dan Kawasan Danau Toba lainnya pun bisa mengadopsinya.
Bayangkan, jika ada sistem yang mewajibkan keterlibatan pemandu lokal, yang menjamin bahwa setiap cerita yang dibawa pulang turis adalah kisah yang benar—bukankah itu sebuah kemenangan?
Saya tahu jalan kami masih panjang. Bahkan jalur transportasi dan pelabuhan mewah seperti Simanindo–Silalahi saja berangsur-angsur sepi dan akhirnya berhenti beroperasi.
Padahal infrastrukturnya sudah ada. Tapi tanpa konsep ekosistem yang hidup, semuanya hanya akan jadi bangunan kosong.
Saya bukan pejabat. Saya hanya seorang pemandu yang mencintai tanah kelahiran saya. Tapi selama saya masih punya suara, saya akan terus menyuarakan ini.
Samosir belum kalah. Danau Toba belum padam. Tapi kita butuh lebih dari sekadar slogan. Kita butuh keberpihakan nyata.
Buat saya, pariwisata bukan cuma soal jualan pemandangan. Ini soal martabat. Soal siapa yang punya hak untuk bercerita. Dan saya percaya, itu hak kami—orang lokal.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga