NINNA.ID-Provinsi Nusa Tenggara Timur menghadapi masalah besar dalam menghadapi stunting, kematian bayi, kesejahteraan lansia, dan lainnya. Kondisi ini tentunya sangat memerlukan perhatian ekstra mengingat kedua kelompok tersebut merupakan kelompok rentan.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Kesehatan pada 2021, Nusa Tenggara Timur menempati peringkat pertama dengan kejadian balita stunting terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 37,8 persen anak usia 0-4 tahun yang terhambat tumbuh kembangnya yang disebabkan oleh gizi yang tidak layak.
Berdasarkan Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan tiga provinsi dengan persentase anak usia dini tertinggi juga diduduki oleh Nusa Tenggara Timur (13,96 persen), Sulawesi Tenggara (13,82 persen), dan Nusa Tenggara Barat (13,59 persen).
Di sisi lain, tiga provinsi dengan persentase anak usia dini terendah berturut-turut diduduki oleh Bali (9,56 persen), Jawa Timur (9,52 persen), dan D.I. Yogyakarta (9,26 persen). Di samping itu dapat dilihat perbandingan persentase lansia antar provinsi.
Tiga provinsi dengan persentase anak usia dini terendah juga merupakan tiga provinsi yang memiliki struktur penduduk tua (persentase lansia di atas 10 persen). Kondisi tersebut memang cenderung terjadi pada wilayah dengan tingkat kelahiran dan angka kematian bayi yang relatif rendah seiring dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
Selanjutnya, hal yang perlu menjadi perhatian terjadi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur dimana provinsi ini berhadapan dengan tingginya persentase anak usia dini (13,96 persen) dan persentase penduduk lansia yang hampir mencapai struktur penduduk tua (9,45 persen).
Anak Usia Dini
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2022, saat ini diperkirakan terdapat 30,73 juta jiwa penduduk berada dalam kelompok anak usia dini atau sebanyak 11,21 persen dari total penduduk Indonesia merupakan anak usia 0-6 tahun.
Meskipun demikian, penyebaran penduduk anak usia dini di Indonesia belum merata. Lebih dari separuh anak usia dini Indonesia berada di Pulau Jawa (52,55 persen). Penyebaran penduduk memberikan informasi tentang pencapaian pembangunan.
Wilayah yang dipadati oleh penduduk cenderung memiliki capaian pembangunan yang tinggi, baik dari sisi infrastruktur, ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan.
Kelompok anak usia dini ini menjadi bagian dari generasi alfa dikarenakan mereka lahir dalam rentang waktu tahun 2010-2025.
Di usia yang masih sangat dini mereka sudah mengenal gawai dan berbagai kecanggihan teknologi lainnya, sehingga perubahan teknologi yang masif akan membuat anak-anak generasi alfa menjadi generasi paling transformative.
Terlebih dalam masa disrupsi informasi dan digital saat ini dimana kondisi aktivitas masyarakat dalam segala aspek kehidupan telah dipermudahkan dengan adanya teknologi.
Perkembangan era digital yang begitu pesat telah membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan mayoritas berdampak positif yang bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Meski demikian, dalam setiap perkembangan zaman senantiasa memberikan dampak baik positif maupun negatif, terlebih pada anak usia dini.
Salah satu cara menangkal dampak negatif dari era digital tersebut antara lain melalui penguatan pendidikan karakter dan peningkatan kualitas SDM sejak dini untuk menjaga keseimbangan karakter mental individu yang dipengaruhi lingkungan yang dikelilingi kemajuan teknologi, sehingga pada akhirnya dapat menjadi sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan mempunyai kemampuan lebih ketika mengalami penuaan penduduk.
Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa anak usia dini lakilaki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Hal ini tercermin dari Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) sebesar 105,01. Dengan kata lain, setiap 100 anak perempuan terdapat sekitar 105 anak laki-laki. Secara persentase, anak laki-laki mencapai 51,22 persen dan perempuan 48,78 persen.
Dengan mengetahui komposisi tersebut artinya dalam pengambilan program dan kebijakan dapat diarahkan dengan mempertimbangkan pengarusutamaan gender, khususnya pembangunan yang adil antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan kelima dari SDG’s yaitu kesetaraan gender.
Sementara itu, berdasarkan klasifikasi desa, anak usia dini lebih banyak tinggal di daerah perkotaan dibandingkan daerah perdesaan (56,79 persen berbanding 43,21 persen). Didorong oleh keinginan mencari kehidupan yang lebih baik, perpindahan penduduk dari desa ke kota di Indonesia terus meningkat.
Tingginya penduduk di wilayah perkotaan tidak hanya disebabkan karena migrasi, wilayah yang sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana juga menjadi indikator suatu wilayah beralih dari perdesaan menjadi perkotaan.
Di wilayah perkotaan mungkin memberikan anak usia dini akses yang lebih baik kepada layanan sosial, namun gelombang urbanisasi yang besar akan memberi dampak negatif pada lingkungan.
Fenomena ini dapat membahayakan anak khususnya anak usia dini karena merekalah yang rentan terhadap bahaya lingkungan, termasuk pada udara yang mereka hirup. Di Indonesia, pencemaran udara adalah faktor risiko terbesar ketiga kematian balita.