NINNA.ID – Jalan menuju situs itu termasuk bagus. Aspal masih mulus. Hanya memang, jalan agak menanjak. Tetapi, tidak terlalu menyusahkan. Artinya, dari segi infrastruktur akses jalan, tidak terlalu menjadi halangan sebebarnya. Jangankan sepeda motor, bahkan mobil pun lancar-lancar saja. Tetapi, persoalannya, situs tersebut terabaikan. Arti terabaikan di sini adalah minim promosi.
Saya mengetahuinya dari daerah sekitar dengan studi random melalui pertanyaan. Pertanyaan saya pada anak-anak muda secara acak di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan sangat sederhana: kalian tahu ada monumen tempat berdoa Sisingamangaraja di Pollung? Mereka tidak tahu. Pertanyaan dispesifikkan: di Dolok Na Bolon? Mereka juga kebanyakan masih menggeleng tanda tak tahu.
Ditanya lebih spesifik: tahu Dolok Na Bolon? Dan, seratus persen mengatakan tahu. Saya membuat kesimpulan pokok: mereka tahu Dolok Na Bolon, tetapi tak tahu situs untuk Sisingamangaraja. Saya bercuriga. Jangan-jangan mereka tak tahu Sisingamangaraja. Maka, saya tanyakan siapa Sisingamangaraja kepada mereka. Untunglah. Dari jawaban mereka, hampir boleh dikatakan semua tahu dan pernah dengar.
Tentu, terlepas dari otentik tahu atau tidak. Sebab, ternyata, Sisingamangaraja di kepala mereka berbeda-beda satu sama lain. Kadang sebagai Si Raja Batak. Raja segalanya. Kadang sebagai pahlawan nasional. Kadang pula sebagai dukun sakti. Dari semua pengetahuan mereka tentang Sisingamangaraja menempatkan mereka pada pemahaman yang berbeda pula tentang di mana sebenarnya muasal Sisingamangaraja.
Ada yang bilang di Samosir, di Balige, dan tentu saja di Bakara. Dari sini saya membuat kesimpulan: generasi muda di Desa Pollung sedikit tahu tentang Sisingamangaraja. Namun, pemahaman mereka tentangnya masih minim. Karena itulah barangkali mengapa mereka tidak tahu tentang situs tempat berdoa Sisingamangaraja di Dolok Na Bolon. Padahal, Dolok Na Bolon termasuk tempat ikonik, khusus di daerah Pollung.
Saya berani mengatakan bahwa hampir semua warga di Kecamatan Pollung tahu Dolok Na Bolon. Tempat ini dulu menjadi wisata anak muda di zamannya. Kebetulan, akses belum selancar sekarang ini. Maka, satu-satunya cara untuk melihat Danau Toba adalah dari puncak Dolok Na Bolon. Segenerasi saya masih sering tamasya ke Dolok ini. Dari sana, mereka menatap danau.
Sekarang ini, Dolok Na Bolon sudah berubah. Ladang makin banyak. Dulunya, tempat ini bagi kami sangat angker. Dikatakan angker karena sering diceritakan kepada kami bahwa di sini banyak homang. Terlepas benar atau tidak, nyatanya banyak dulu anak-anak yang hilang di sana. Beberapa hari kemudian baru bisa ditemukan. Kalau beruntung, masih hidup. Kalau tidak, beberapa konon malah meninggal.

Masih tentang keangkeran. Di Dolok Na Bolon ini, ada namanya Lombang Assiritan. Lagi-lagi ini cerita pada kami. Di lembah yang dalam ini, dulunya penderita penyakit aneh akan dibuang. Jadi, mereka tidak dikubur dengan baik. Mereka dibuang, bahkan ketika masih hidup. Lebih modern, ada juga cerita kepada kami. Di lembah ini, bangsa penjajah membuang para tawanan sebelum atau setelah ditembak.
Artinya, lembah ini bukan cerita tentang yang baik-baik. Karena itulah kami sangat percaya bahwa Dolok Na Bolon sangat angker dan justru itu yang membuat tempat ini menjadi ikonik sehingga semua kami di Kecamatan Pollung tahu dengan Dolok Na Bolon. Di bawah sana, di kaki Dolok Ba Bolon, mengalir sungai sumber air terbesar ke Danau Toba, yaitu aek silang. Tetapi, itulah cerita dulu. Sekarang, Dolok Na Bolon mulai disulap sebagai ladang.
Sebelum menjadi ladang, di salah satu desa di sana, di Sibatu-batu, berdiri sebuah situs. Situs ini sudah lama sebenarnya. Tetapi, entah karena dulu angker, orang tua kami pun rata-rata belum tahu persis di mana posisinya. Mereka cuma tahu, tetapi tidak pernah datang ke sana. Menarik tentu saja untuk mengetahui mengapa Sisingamangaraja jauh-jauh datang ke Dolok Na Bolon untuk berdoa. Apakah tempat ini dulunya sakral?
Entahlah. Tetapi, jika berkunjung ke sini, aroma kesakralan itu seperti nyata adanya. Saya pernah membawa serta seorang anak PAUD ke sana. Ia mengigil ketakutan. Begitu kami masuk, kelelawar beterbangan. Di sebuah gua bentukan, ada Patung Sisingamangaraja. Patung itu gagah. Di bawahnya, ada cawan, sirih, jeruk purut. Ini berarti bahwa ada orang berdoa ke sini. Suasananya lumayan gelap sehingga terkesan membuat sakral, bahkan menakutkan.
Perlu diketahui, sepulang dari sana, anak PAUD yang saya bawa diceritakan orang tuanya tetap ketakutan, mimpi-mimpi dan gelisah, bahkan demam. Artinya, tempat itu masih sakral untuk tidak mengatakan masih menakutkan bagi orang-orang tertentu. Kedua kali, saya juga membawa anak sanggar ke sana. Mereka juga masih ketakutan. Kata mereka, tempat itu sungguh sangat seram. Tetapi, saya menguatkan, tempat ini ramah asal kita tak kejauhan.
Iya, yang lain boleh mengatakan tempat itu menakutkan. Tetapi, saya melihatnya berbeda. Tempat ini memang sakral. Dan, mungkin bukan tempat biasa. Karena kalau tempat biasa, untuk apa Sisingamangaraja datang jauh-jauh berdoa ke sana, bukan? Hanya saja, tempat ini semakin menakutkan karena mulai tidak terawat. Tidak terawat karena orang jarang datang.
Orang jarang pula datang karena tidak dipromosikan. Saya tahu itu tidak dipromosikan, tentu dari jawaban-jawaban pertanyaan seperti dikutip di awal tulisan ini. Rasanya, tempat ini perlu dipromosikan ulang dan cerita sahihnya digali. Katakanlah ini sebagai tamasya kenangan para generasi tua di atas saya yang dulu membuat tempat ini sebagai tempat tamasya sebelum bisa terjun ke Bakara. Sebab, kami hanya mempunyai Danau Toba dari puncak Dolok itu.
Penulis   : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor     : Mahadi Sitanggang