NINNA.ID – Kemarin saya ke Balige membawa anak sanggar kita dari Sanggar Maduma. Kebetulan, ada pesta di sana dan kita dipercaya. Saya turun dari Doloksanggul dan melewati salah satu ikon di Balige, yaitu makam pahlawan Sisingamangaraja XII. Anak sanggar saya bertanya: kok ada lagi Sisingamangaraja di Balige? Sisingamangaraja banyak, ya? Pertanyaan yang logis.
Sebab, menurut mereka, Sisingamangaraja pasti di Bakkara. Saya memberi penjelasan. Saya tak tahu, mereka mengerti atau tidak. Tetapi, tak apa-apa. Mereka masih anak sekolah. Lama-lama mereka akan tahu. Atau, mencari tahu. Semoga tidak sampai pada posisi ini: tidak mau tahu. Kalau sudah pada tidak mau tahu, oh, gawat sudah.

Oh, iya terkait makam itu, ada orang yang berkata bahwa itu adalah ambisi tak menentu. Mungkin benar. Mungkin juga tidak.
Tetapi, satu yang mungkin dilupakan, ada “Sisingamangaraja” yang lain di sana.
Ingat ya. Saya buat ini dengan tegas dalam tanda kutip: “sisingamangaraja” yang lain. Jadi, ini bukan tentang Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara bermarga Sinambela.
Ini tentang “sisingamangaraja” yang bukan Sinambela. Ia bermarga Panjaitan. Semarga dengan Luhut Panjaitan. Trimedya Panjaitan. Hinca Panjaitan. Juga, yang sudah kekal: Donald Isaac Panjaitan. Sengaja saya sebut nama-nama itu untuk menguatkan bahwa marga Panjaitan banyak orang hebat. Saya tak tahu, apakah mereka pernah berkumpul dan berbincang tentang ini.
Ya, tentang ini: “sisingamangaraja” bermarga Panjaitan. Saya agak ragu. Soalnya, suatu saat di Kota Medan. Saya lupa persisnya. Tapi, itu pada tahun 2016. Ada perwakilan panitia dari penabalan “sisingamangaraja” Panjaitan yang baru. Saat itu, mereka mengundang kami untuk meneruskan prosesi ritus penabalan raja yang baru. Setelah itu, saya tak mendengar berita itu.
Artinya, ya, penabalan ini persis seperti partangiangan keluarga saja. Namanya saja yang besar. Tapi, gaungnya hanya sekilas. Saya tak ikut acara itu pada akhirnya. Tetapi, dari cerita panitia saat itu, “sisingamangaraja” yang lain itu adalah raja besar di Habinsaran. Sementara itu, Raja Besar di Hasundutan adalah Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara. Konon, kedua dinasti ini saling terhubung dan mendukung.
Masih menurut pengajuan penabalan “sisingamangaraja” itu. Katanya, jika Sisingamangaraja di Bakara hendak dilantik, saya sebut saja bahasanya dilantik meski arti sesunguhnya adalah lebih tinggi dari dilantik. Tapi, lebih rendah dari diurapi. Nah, pelantiknya adalah Raja Panjaitan dari Habinsaran. Demikian juga sebaliknya. Jika Raja Panjaitan dilantik, Sisingamangaraja yang jadi pelantiknya.
Menarik sekali membahas kedua raja ini. Sebab, keduanya adalah “kembar”. Sejarahnya mirip. Raja Manghuntal di Bakkara dilahirkan dari seorang wanita yang sempat ditinggalkan. Sempat ditinggalkan karena wanita itu tak kunjung hamil. Maka, Bona Ni Onan pergi entah ke mana. Sepulangnya, ia melihat istrinya sudah mengandung. Ia keheranan. Desas-desus muncul.
Ibu Raja Manghuntal berdiam di sebuah gua. Gua ini ada di Bakkara, tepatnya di Tombak Sulu-sulu. Di sana, Sang Ibu merawat Raja Manghuntal. Di sana pula, Raja Manghuntal main-main. Kini, gua itu jadi salah satu destinasi wisata mistis di Bakkara. Begitu juga dengan Raja Panjaitan. Raja Panjaitan ini adalah Raja Sijorat Paraliman. Namanya Silundu Nipahu.
Ia lahir dari seorang ibu. Ibu ini juga tak kunjung hamil. Alur ceritanya persis. Sang Suami pergi meninggalkan istrinya. Suami bernama Raja Situngo Naiborngin. Ia menikah lagi dengan paribannya. Sang Istri yang kini ditinggalkan ditolak keluarga. Maka, ia pergi ke sebuah gua di Liang Sipege. Di sebuah hutan. Di sana, ia juga mengandung. Lalu, melahirkan seorang anak.
Anak itu adalah Silundu Ni Pahu. Pahu adalah pakis. Nama ini dipakai karena bayi yang baru lahir hanya makan pakis karena kemiskinannya. Tapi, ia bukan bayi sembarangan. Ia punya kesaktian. Gua itu menjadi saksi mitosnya. Dan, kesaktiannya disebut setara dengan Raja Manghuntal yang menjadi Sisingamangaraja I di Bakkara. Karena itu, saya menyebutnya sebagai sisinganangaraja yang lain.
Nanti akan kita lanjut ceritanya di edisi yang lain. Sebab, ternyata Balige sebagai asal marga Panjaitan, asal Raja Sijorat Paraliman, punya penamaan yang unik. Mungkin erat kaitannya dengan migrasi Sorimangaraja keturunan Raja Isumbaon ke Baligeraja. Kini, namanya jadi Balige saja. Rajanya hilang. Mengapa kira-kira?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor  : Mahadi Sitanggang