NINNA.ID – Humbang Hasundutan makin maju dalam kesenian dan kebudayaan. Sanggar dan seniman makin menggeliat. Sanggar Tonggi asuhan Golda Simarmata dan Harmoko Sinaga, misalnya. Sanggar mereka ini, tanpa bermaksud untuk mengecilkan yang lain, telah menginisiasi kemajuan sanggar di sana, khususnya dalam hal tari-tarian.
Kini, makin banyak sanggar yang hidup di Humbang. Pesta-pesta makin berdenyut. Ada tren baru. Ada tari penyambutan (manomu-nomu). Ada tari memberi ulos passamot. Juga untuk ulos hela. Dari segi tradisi, ini tak lazim. Tapi, tradisi bisa dikembangkan. Tradisi tidak selalu harus primitif. Tradisi harus hadir dalam prosesi penting.
Pesta pernikahan termasuk prosesi penting. Namun, di setiap pesta, jika sudah ada tortor, kita akan melihat tortor biasa untuk tidak mengatakan asal-asalan. Jadi, tentu tak salah menghadirkan tortor kreasi sebagai bentuk edukasi sekaligus eksistensi bahwa tortor Batak tetap bisa hadir dengan berbagai variasi. Intinya kita sepakat: tortor bisa eksis di sepanjang masa.
Kali ini, sanggar kami dari Maduma ikut memeriahkan Pagelaran Seni dan Budaya besutan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Humbang Hasundutan di Geosite Sipinsur. Ada juga trio remaja dari D’Sandard. Pengunjung sudah mulai ramai di Geosite Sipinsur. Lebih 500-an. Ini tentu berita positif dari pariwisata Humbang Hasundutan di tengah pandemi.
Saya membayangkan, semoga Sipinsur semakin maju. Sebab, keindahan alam dari Sipinsur sesuatu yang mahal. Dari sana kita bisa melihat Pulau Sibandang. Bisa juga menikmati Muara. Jika hari cerah, di ujung ketenangan danau, kita akan melihat Pulau Samosir. Atau, jika ingin melihat wisata budaya di Bakara, kita tinggal turun sekitar belasan menit.
Di samping itu, udara amat sejuk. Alam teramat asri. Pohon pinus rimbun. Sipinsur seperti wisata di hutan indah. Tetapi, ini hutan yang asyik. Tidak ada semak belukar, kecuali rerumputan yang tertata. Sejauh pengamatan saya, Sipinsur lapang, indah, juga lengkap.
Disebut lengkap karena cocok untuk semua usia. Ada banyak tempat bermain-main untuk anak-anak. Jadi, untuk keluarga muda, ini sangat asyik. Ada banyak spot foto. Ada aula pertunjukan sederhana, bahkan tempat terbuka untuk pertunjukan Opera Batak. Kursi-kursi penonton terbuat dari kayu memanjang. Dan, bayaran masuk untuk semua ini sangat dan sangat murah.
Tepat ketika saya hadir di sana, ada juga praktik melukis untuk anak PAUD entah darimana. Artinya, tempat ini sungguh sudah sangat siap untuk dikunjungi. Mau santai, ada gelaran tikar yang bisa disewa atau bisa dibawa dari rumah. Kios-kios makanan pun beragam. Satu yang mungkin kurang adalah tiadanya penginapan dan kafe memadai.
Karena itu, Sipinsur akan semakin lengkap jika di sana ada homestay atau kafe memadai. Mungkin, investor sudah bisa melirik potensi ini. Dan, saya berjalan lagi. Pohon pinus yang rimbun tak terhitung. Di beberapa tempat, saya melihat kain ayunan diikat dari satu batang ke batang lain. Sungguh sangat asyik.
Karena itu, tiba-tiba saya berimajinasi: bagaimana jika di sana dibuat rumah pohon. Teknisnya, bisa dibuat tonggak penyangga di sela-sela pohon. Rumah pohonnya bisa dalam bentuk mini khas arsitektur Batak. Tetapi, satu yang pasti, kekhasan Geosite Sipinsur harus dijaga. Ekosistem alamnya tak bisa ditawar.
Kini, sudah hampir pukul 18.00. Pengunjung masih betah. Sipinsur memang memanjakan. Pantas dikunjungi untuk menyehatkan jiwa, menghibur hati, bersantai jiwa. Di dataran tinggi ini, Anda akan menghirup udara yang hampir tanpa karbon. Karena itu, ia pantas menjadi daerah wisata dataran tinggi terpopuler di tahun 2018.
Karena itu, ayo, kami tunggu kedatangan Anda di sini. Jangan sungkan apalagi segan. Anda datang bahagia, kami menyambut bahagia pula. Baiklah, hari sudah malam. Kami harus pulang. Angin semakin kencang. Dingin semakin merambat. Dan, Sipinsur sudah jauh di belakang kami.
Penulis : Riduan Pembriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang