NINNA.ID – Menurut kisah para nenek moyang terdahulu, konon ada suatu masa yang sangat kelam di tanah Batak. Kisah ini hampir sama dengan kisah yang terjadi dalam Alkitab. Kisah, ketika Tuhan menguji hambanya, Abraham mempersembahkan anak satu-satunya Ishak, yang dinanti selama 100 tahun. Walau tercatat, Ishak tidak jadi dikorbankan.
Di sini letak perbedaannya. Konon katanya, kisah yang terjadi di tanah Batak itu, benar-benar mengorbankan seorang manusia. Korban itu juga diyakini dipersembahan itu untuk Allah mereka. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah Allah mereka sama dengan Allah Abraham?
Menurut para sesepuh terdahulu, pelaksanaan ritual seperti itu, terakhir terjadi sekitar tahun 60-an. Di salah satu daerah di tanah Batak tepatnya di Kenegerian Sihotang.
Dituturkan, kala itu ada petugas utusan Raja yang berkuasa pada saat itu untuk melakukan ting-ting (pemberitahuan) kepada masyarakat. Setiap kampung dimasuki oleh petugas ini.
“Ise do hamu alea pelean ni Opputta I (siapa yang mau menjadi persembahan untuk Ilahi)? Dan jika ada yang menjawab dipastikan dialah yang menjadi persembahan kepada sang Ilahi.
Dari peristiwa inilah kemudian dikenal kata Sipaimbar.
Sipaimbar dalam literatur Batak mengandung makna orang yang akan mengambil sebuah peran yang sama dengan yang digantikannya. Sehingga di samping manusia tadi sebagai pelean juga merupakan salah satu cara untuk memindahkan penyakit seseorang yang sudah menahun (kronis) di kala itu. Dikisahkan pula, dalam prakteknya, korban untuk ritual Sipaimbar ini sangat jarang dijumpai.
Tapi begitulah kondisinya pada saat itu. Atas dasar petunjuk dari orang datu (dukun) atau juga orang yang hasandaran (kesurupan), maka ucapan merek ini dipercaya, bahkan mutlak dipercaya saat itu. Keterbatasan ilmu pengetahun dan belum masuknya ajaran Kristen, membuat orang banyak menurut saja.
Adapun ritualnya akan dimulai dengan acara memotong seekor ayam jantan dimasak dan diatur sedemikian rupa menjadi sebuah sesajen atau dalam istilah Batak Toba disebut Manuk Naniatur.
Acara akan dilakukan sekitar pukul 12.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB tengah malam. Lalu sesajen tersebut akan diantar ke persimpangan jalan dengan dicampur nitak berwarna putih, nitak berwarna hitam dan nitak berwarna kuning.
Sambil bersemedi, Datu atau orang yang Hasandaran dirasuki roh tadi pun akan melantunkan tonggonya “Nion jambar mu boh”.
Konon katanya jika saat itu ada orang yang menyahuti perkataan tonggo itu, biarpun secara sadar atau tidak sadar maka penyakit tadi dengan sendirinya akan pindah ke badan orang itu, dan ritual akan selesai.
Makanya para orangtua terdahulu selalu berpesan jika ada orang yang memanggil malam-malam hari, orang tua menyarankan, jangan dijawab. Menghindari kalau-kalau suara itu adalah ritual Sipaimbar.
Ya, masa itu memang masa yang sangat kelam dalam sejarah perjalanan kehidupan budaya di tanah Batak. Saking kelamnya tidak banyak literatur dan narasumber yang bisa diteliti untuk mengupas tuntas kisah ini.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang