NINNA.ID-Saya menonton pertunjukan Tari Kreasi Haminjon dari Sanggar Tonggi. Mereka membuat pagelaran tunggal. Banyak orang menonton. Termasuk saya. Agak tergesa-gesa. Sebab, kami harus melanjutkan administrasi Cagar Budaya.
Sampai jam 1 larut malam, kami masih sibuk membahas cagar budaya. Handphone saya berdering. Sudah banyak pesan agar saya kembali ke hotel. Membahas cagar budaya. Harus selesai esoknya. Padahal, hari libur. Besok hari Minggu.
Saya berdiri hendak pulang. Pertunjukan hampir selesai. “Aku menumpang ya,” kata Julina Martha Hutapea. Ia seorang pemain mossak. Dia bercerita banyak tentang mossak. Baginya, mossak adalah perlindungan diri. Bukan perkelahian.

Menurutnya, mossak pertama adalah dari Si Boru Pareme. Tepat ketika ia melindungi bortian dari Babiat Sitelpang. Harimau berkaki tiga. Harimau itu jadi temannya. Saya tak menolak. Tapi tentu saja tak setuju sepenuhnya.

Hanya memang, setelah itu kita akan mendengar cerita selanjutnya. Babiat Sitelpang menjadi guru. Guru untuk dunia bela diri. Juga guru untuk pengetahuan lain. Siapa Babiat Sitelpang? Ya, binatang biasa. Tepatnya harimau berkaki tiga.
Namun, saya punya persepsi lain. Ada kemungkinan, Babiat Sitelpang itu adalah jelmaan leluhur. Kita tahu, ada Raja Uti. Dia punya tujuh rupa. Bisa menyerupai binatang. Sitor Situmorang pernah membuat tulisan. Tentang wajah Raja Biak-Biak.
Ya, Raja Uti Istimewa. Namanya banyak. Terkadang Ompu Gumeleng-geleng. Juga Raja Biak-Biak. Tapi, kita tahu kemudian, Siboru Pareme punya anak. Namanya Raja Lontung. Raja Lontung punya saudara. Namanya Raja Borbor. Mereka berbeda ibu.
Saribu Raja seorang petualang. Ia mempunyai istri baru. Tepat setelah menang melawan Raja Homang. Raja Homang memberi hadiah. Seorang istri bagi Saribu Raja. Lahirlah Raja Borbor. Kemudian, Saribu Raja berpetualang lagi.
Raja Lontung mencari ayahnya. Pun Raja Borbor. Hingga kemudian mereka bertemu. Mereka tak saling kenal. Lalu, berkelahi. Mossak menjadi andalan. Lama mereka berkelahi. Tak ada menang. Tak ada yang kalah. Mereka pun berkenalan.
Rupanya, mereka punya ayah yang sama. Mungkin juga guru yang sama. Itulah dunia mossak. Diajarkan Babiat Sitelpang. Mungkin ia Raja Uti. Monsak terus dipelajari. Hingga pada raja-raja berikutnya. Sisingamangaraja punya Parhudamdam.
Victor Herman Silaen berpikiran identik. Monsak adalah puncak. Monsak harus ada setelah tortor. Tortor rupanya tidak cukup sakral lagi sebagai doa. Maka, muncullah Mossak. Maka Mossak adalah doa. Mossak bukan soal bela diri semata.
Pada suatu ketika, begitu juga dengan Sori Sitanggang. Ia parmossak tulen. Bercerita kami secara sekilas. Tepat pada penampilan dokumenter Na I Hasagian. Baginya, monsak sangat suci. Monsak bukan soal gerak tubuh berkelahi.
Banyak parmonsak yang selalu saya tanya. Termasuk skripsi dari anak sanggar Sion Nauli. Kebetulan, mengangkat Mossak. Dua skripsi dari dua orang. Sayang, saya belum bertanya secara lebih mendalam. Biarlah suatu saat nanti.
Adalah lagi GJM. Dan tentu saja Herman Nababan. Ada yang istimewa dari Herman Nababan. Ia mendirikan Sanggar Nabasa. Ia petualang juga. Mempelajari Mossak dari pintu ke pintu. Parmonsak memang begitu: petualang dan mencari tahu.
Saya berandai-andai. Bagaimana jika monsak disebut sebagai perkelahian saja dan tidak mendidik. Ia tak setuju. Bahkan, jika ada orang yang mengatakan monsak tak mendidik, ia akan membawa parmonsak kepada orang tersebut.
Kita tantang dan tuntut orang tersebut. Itu cukup serius. Tentu saja Mossak adalah pendidikan. Monsak bukan hanya perkelahian. Saya menarik diri. Monsak bukan hanya perkelahian. Jadi, jika ada yang bilang monsak tak mendidik, saya akan menghardik orang tersebut. Itu janji saya.
Penulis: Riduan Situmorang
Editor : Damayanti Sinaga