Seruan Etis Akibat  Hubungan Inses dari Kisah Tunggal Panaluan

NINNA.ID – Salah satu kekhasan budaya Batak dalam bentuk benda yang terpelihara hingga saat ini adalah tongkat Tunggal Panaluan. Jenis tongkat ini biasa diberi sebagai cendra mata bagi orang-orang penting yang berkunjung ke daerah Batak misalnya presiden.

Pemberian tongkat Tunggal Panaluan seakan menjadi simbol bahwa yang menerima patut dihormati dan diberi tempat khusus karena tugas yang dia ampu. Supaya tradisi ini tidak tinggal lepas dari makna atau seruan etis, maka dalam tulisan singkat ini kami mencoba mengurai kisah seruan etis apa yang ada dibalik  “Tunggal Panaluan”.

Hubungan Akrab Abang-Adik
Ada berbagai macam versi yang mengisahkan tentang terjadinya Tunggal Panalauan. Namun bila diamati sepintas semua kisah itu agaknya hampir sama. Intinya yakni tentang hubungan inses antara yang bersaudara (abang beradik). Versi yang rasanya masuk akal dan ada nilai etisnya dilukiskan sebagai berikut.

Dahulu kala pernah hidup seorang raja, dan pada suatu petang, selepas malam bulan purnama (bulan tula), istrinya melahirkan anak kembar, satu lelaki dan satu perempuan (marpohas tubu). Ari-arinya berupa segumpal daging tak bernyawa berbentuk mentimun dengan hanya 2 buah lubang, yakni lubang mulut dan lubang dubur. Ari-ari ini juga memiliki alat kelamin pria.

BERSPONSOR

Anak yang mati ini dikuburkan di bawah pamispisan (sepetak tanah tempat tetesan hujan dari atap) sebagai tradisi adat yang dipraktekkan oleh orang-orang Batak penyembah berhala bahkan hingga hari ini. Dan karena anak ketiga ini dipastikan berjenis kelamin pria, ia pun dinamai Si Tunggal Panaluan (tunggal – maskulin; pria kecil; panaluan – yang ketiga).

Kedua anak raja ini pun tumbuh besar bersama. Mereka makan dan tidur bersama dan juga mengenakan baju yang sama. Setiap kali bersantap mereka meminta daging yang sangat banyak dan jika permintaan mereka tidak dikabulkan, mereka menjadi murka dan tidak dapat diredakan amarahnya. Keduanya sangat rupawan dan mereka senantiasa bermain bersama. Si anak lelaki dinamai Si Tapi Raja Na Uasan (nama ini sepertinya berarti ‘bernafsu’ atau ‘nafsu tak terlampiaskan’) sedangkan si anak perempuan dinamai Si Tapi Donda Hatahutan (si pemalu).

Hubungan mesra di antara kedua anak yang nyaris dewasa ini dicerca keras oleh masyarakat yang jelas bertentangan dengan adat mereka. Hubungan mesra antara saudara lelaki dan perempuan di dalam masyarakat Batak diistilahkan sebagai ‘mardaon begu‘. Kedua orangtua mereka juga tidak menyetujui perilaku kedua anak mereka lantaran hal ini menurunkan martabat dan wibawa diri mereka.

Karena kedua anak ini selalu meminta banyak daging untuk santapan mereka, mereka sangat membebani keuangan orangtua mereka. Akhirnya orangtua mereka memutuskan untuk membawa Si Tapi Raja Na Uasan kepada paman dari pihak ibu (tulang) mereka agar kedua anak ini kiranya dapat dipisahkan dengan harapan bahwa sejalan dengan waktu mereka akan dapat saling melupakan satu sama lain. Si paman ini tinggal di kampung yang cukup jauh.

BERSPONSOR

Terpisahkan oleh jarak yang jauh  kedua anak raja ini menangis  dan merana siang malam. Untuk itu kedua orangtua mereka memperkenankan Si Tapi Raja Na Uasan untuk kembali pulang, dan dari hari ke hari hubungan di antara kedua kakak-beradik ini menjadi kian mesra sehingga semua orang dipenuhi rasa jijik terhadap mereka.

Pada suatu malam yang indah di bawah temaram rembulan, kedua anak raja ini minggat dari rumah kedua orangtua mereka dan melarikan diri ke dalam hutan. Manakala baginda raja menyadari kepergian mereka, ia mencari ke mana-mana namun tak dapat menemukan mereka.

Mereka bertanya ke berbagai macam guru yang ada di negeri itu dan mereka menyatakan bahwa kedua kakak-beradik ini pastilah bersembunyi di dalam hutan. Sang guru pun lantas kemudian diutus untuk mencari kedua anak ini, di mana ia berjanji untuk kembali dalam waktu 7 hari entah berhasil ataupun tidak. namun mereka ternyata tidak kunjung kembali dalam batas waktu yang telah ditentukan

Kemudian diutuslah beberapa orang untuk mencari para ahli sihir yang hebat dari negeri-negeri lain dan mereka ini ditemukan di Nagori Langgam Sisi (sisi = pinggir, tepi; tepi dunia, penjuru dunia, sangat jauh sekali). Mereka ini adalah Guru Tantan Debata (tantan Debata – dewa yang turun ke bumi) serta Guru Aji Musa (aji – sihir rahasia, menimbulkan rasa takut).

- Advertisement -

Setelah para utusan ini menyampaikan apa yang telah terjadi kepada kedua orang guru ini, mereka bersumpah akan membantu menemukan kedua anak raja tersebut dan mengembalikan mereka ke pangkuan kedua orangtuanya.

Para guru ini akhirnya tiba di negeri baginda raja dan langsung melakukan aksi pencarian. Namun tak lama kemudian, mereka kembali dengan membawa berita bahwasanya Si Tapi Raja Na Uasan, Si Tapi Donda Hasautan serta berbagai orang guru yang pernah dikirim kini dalam kondisi terperangkap di pohon tanggulon yang ada di hutan dan tak mampu untuk melepaskan diri.

TERKAIT  Ada Apa dengan Geopark Kaldera Toba?

Kedua anak raja ini tidak ingin kembali pada kehidupan mereka lantaran mereka telah berdosa berat yakni  melanggar adat. Berbagai guru yang telah berubah menjadi kayu menyatakan bahwa mereka juga tidak ingin untuk dibebaskan melainkan lebih memilih untuk tetap bersama dengan kedua anak ini.

Kendati demikian mereka setuju untuk dibawa pulang kembali ke desa, dengan catatan bahwa mereka nantinya akan dikeramatkan dan dinamai menggunakan nama anak ketiga sang raja yang mati pada saat lahir, yakni Si Tunggal Panaluan.

Pesan ini seketika itu juga disampaikan kepada baginda raja yang menerima persyaratan ini lantaran ia menginginkan kedua anaknya kembali dengan tebusan berapapun juga.

Di dalam sosok berbentuk kayu ini, jiwa mereka masih dalam keadaan hidup. Guru Tantan Debata dan Guru Aji Musa kemudian menyertai baginda raja dan seluruh rakyatnya ke hutan untuk memboyong si Tapi Raja Na Uasan dan teman-temannya.

Lantas Guru Tantan Debata menebang pohon ini dengan menggunakan pisaunya, piso solam dibata, iumpat dimejer hilap, itombomhon dumugur tano, yang artinya ‘sewaktu pisau ini dicabut dari sarungnya, guntur menggelegar, dan sewaktu ditancapkan ke tanah, bumi berguncang’.

Sebelum pohon ini ditebang, Guru Tantan Debata berbicara cukup lama untuk menanyakan mereka yang terperangkap ini mengenai perlakuan seperti apa yang mereka inginkan. Sewaktu melangsungkan pembicaraan ini, ia menaburkan beras kuning (boras binorna) dan memainkan seikat bunga-bungaan 3 macam (rudang ragi-ragian). Upacara ini diulangi bahkan pada saat ini oleh semua dukun yang membawa Si Tunggal Panaluan ini.

Larangan  Hubungan Inses
Seperti dalam bagian pendahuluan, bahwa dalam tulisan ini yang mau disoroti adalah nilai etis dalam hubungan terhadap saudara. Inti dari kisah di atas adalah bahwa hubungan inses adalah tindakan tercela dan tidak boleh diikuti.

Menurut istilah psikologi, Inses adalah hubungan seks di antara dua lawan jenis yang memiliki hubungan darah/keluarga sangat dekat seperti kakek dengan cucunya atau ayah dengan anak kandung perempuan atau di antara kakak-beradik sekandung (Sawitri S.Sadarjoen, Kompas 14 Juni 2009).

Memang pada beberapa abad lalu di Mesir dibenarkan hubungan inses antara raja dan adik perempuannya, tetapi umumnya di berbagai budaya relasi seksual inses amat terlarang dan ditabukan.

Bila ditelusuri lebih jauh larangan inses sebenarnya sangat terkait dengan atribusi biologis yang menyatakan hubungan seksual antara pasangan sedarah akan membahayakan kondisi keturunannya. Secara etis hubungan inses salah karena penelitian membuktikan bahwa kematian, retardasi mental, dan cacat bawaan pada anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan inses sangat tinggi.

Kematian dalam mitos  tungggal panaluan dilukiskan dengan kedua bersaudara yang lengket pada kayu. Lengket pada kayu tidak lain adalah bentuk hukuman yang mereka terima karena telah melakukan hubungan inses.

Kasus yang sering terjadi adalah hubungan inses antara kakak laki-laki dan adik perempuan seperti dalam kisah Si Donda Hasautan dan adiknya dalam mitologi tunggal panaluan. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh rendahnya kualitas moral dalam keluarga atau sebagai ungkapan eksperimen seksual yang karena kebutuhan ingin tahu tentang seks khusus dalam kisaran usia remaja.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila terjadi pengalaman inses, konsekuansi traumatis justru akan lebih dialami remaja perempuan yang terlibat. Dikemudian hari kejadian inses akan membuat dia tidak berkembang secara normal karena akan selalu timbul rasa bersalah berkepanjangan pada diri mereka.

Pada saat dewasa, kemungkinan besar mereka akan memiliki sikap negatif terhadap seksualitas yang pada akhirnya akan merugikan perkembangan jiwa mereka di kemudian hari. Apalagi masyarakat sangat melarang hubungan inses maka begitu mereka menyadari perbuatan mereka, kesadaran itu akan memicu perkembangan rendah diri berkepanjangan. Inses adalah hubungan terlarang dan dalam paham orang beragama ini disebut dengan dosa.

Antisipasi Hubungan Inses
Bila kita menyadari dan mau belajar sungguh-sungguh sebenarnya ada banyak nasehat dan larangan dalam bentuk mitologi yang berbicara pada larangan  hubungan inses. Semuanya dengan tegas melarang hubunga inses walaupun belum mampu menjelaskannay secara ilmiah. Pendidikan modern semakin menyadarkan kita betapa perkawinan inses akan dapat menimbulkan masalah pada keturunan.

Dalam dunia yang menantang sekarang ini perlulah menggali makna dan ajaran terdalam yang ada dalam mitologi zaman dahulu dalam bentuk kerangka pikir baru. Sebab walaupun kita sudah memasuki zaman modern cukup banyak kejadian yang mengejutkan yang berkaitan dengan hubungan inses.

Tak bisa dipungkiri, bahwa kondisi ekonomi keluarga dapat juga memicu hubungan inses. Keluarga yang megalami keterbatasn kamar tidur misalnya dapat memaksa anak laki-laki dan perempuan sekandung tidur bersama. Kondisi ini akan membuka peluang terjadinya hubungan inses.

Karena itu bagi keluarga seperti ini mesti bijak dengan tetap membuat sekat sedemikian rupa untuk menghindari peluang. Mesti disadari bahwa tindakan berbuat yang tidak benar itu terbuka karena ada peluang.

 

Penulis    : Pastor Moses Elias Situmorang OFMCap
Editor       : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU