Parapat, NINNA.ID-Di antara sejuknya angin di Panatapan Parapat dan tenangnya Danau Toba yang membentang luas, berdirilah Sopo Kayu Panatapan—sebuah tempat persinggahan sederhana yang menyimpan kisah luar biasa tentang harapan dan keteguhan hati.
Di sanalah Pangihutan Sinaga, seorang pengusaha kecil asal Parapat, menggantungkan hidupnya, meski arus wisata kian hari kian menyusut.
Sudah hampir satu dekade sejak ia menjalankan usaha ini pada 2016. Namun, menurutnya, tahun 2025 menjadi babak yang paling sunyi.
“Lebaran dulu, rame kali. Sekarang sepi,” tuturnya lirih, seraya menatap bangku-bangku kosong di bawah rindangnya pepohonan pinus.
Malam takbiran yang biasanya penuh tawa dan cahaya lampu pengunjung, kini tinggal kenangan.
Bukan hanya Lebaran. Bahkan saat libur Jumat Agung hingga Paskah, yang dulu menjadi momen emas bagi pelaku wisata, kini tak memberi perubahan berarti.

“Lebih rame masa COVID daripada sekarang,” katanya pelan.
“Dulu masih bisa menutupi biaya operasional. Sekarang? Sulit.”tutur Pangihutan Sinaga saat NINNA mampir ke usahanya pada Sabtu 19 April 2025.
Ia menguraikan sejumlah faktor yang menurutnya penyebab merosotnya angka wisatawan. Pertama, daya tarik Samosir begitu kuat menyebabkan wisatawan tidak lagi cenderung singgah atau menginap berlibur di Parapat.
Kedua, bencana alam yang sering terjadi di Parapat khususnya yang baru-baru ini terjadi seperti banjir dan longsor sangat memengaruhi angka kunjungan khususnya selama Lebaran.
Ketiga, adanya akses dari arah lain yakni lewat Simpang Palang-Sitahoanselain melewati Panatapan Parapat, membuat banyak wisawatan datang dari Siantar tidak lagi singgah ke Panatapan.
Kemungkinan keempat, banyaknya pintu masuk ke Samosir atau Danau Toba, membuat wisawan tak lagi masuk ke Samosir melewati Kota Parapat.
Sewa Tempat, Dihimpit Biaya
Bangunan Sopo Kayu Panatapan berdiri di atas tanah milik keluarga yang sudah berpindah tangan.
Kini, ia menyewa dari kerabat dekatnya dengan beban kontrak mencapai Rp40 juta per tahun.
Ditambah biaya listrik, pemeliharaan, dan tenaga kerja, ia hanya bisa berharap pada momen-momen libur besar. Tapi libur panjang pun kini tak lagi menjanjikan.
“Dulu, tiap libur gak kemana omzet 5-10juta per hari. Tapi periode Lebaran tahun ini selama 10 hari total omzet kami hanya 12juta. Begitulah. Tahun ke tahun terus menyusut,” ujarnya.
Di tengah makin banyaknya warung dan kafe yang menjamur di sekitar Panatapan, dan wisatawan yang kini tersebar ke berbagai titik, ia merasa perlu berinovasi—tapi kemampuan terbatas.

“Kita cuma jual kopi, teh manis, Pop Mie dan aneka jajanan lainnya. Belum ada menu makanan khas atau yang beda,” akunya.
Ia pernah berencana menjual menu lain, tapi tak punya tenaga tambahan untuk mengurusnya.
Menopang Harapan
Di tengah jalan terjal itu, secercah harapan datang lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BRI.
Pangihutan pertama kali mengajukan KUR pada 2021, dan kembali mendapatkan bantuan KUR pada 2024 dengan nilai pinjaman Rp50 juta.
Dana itu bukan hanya membantu menambal biaya usaha, tapi juga menjadi modal untuk membuka jalan baru: bertani kopi.
“KUR BRI sangat membantu. Ladang kopi ini jadi harapan kami ke depan,” ujarnya dengan senyum kecil. Di lahan seluas enam rantai di belakang rumahnya, biji-biji kopi ditanam dan dirawat dengan sabar.
Bagi Pangihutan, bertani bukan sekadar pilihan, melainkan jalan untuk bertahan—dan mungkin, suatu hari nanti, untuk bangkit.
KUR BRI menjadi jembatan harapan yang memungkinkan Pangihutan tidak tenggelam sepenuhnya dalam kesunyian bisnis wisata.
Di balik semua tantangan, ia masih bisa produktif, masih bisa percaya bahwa usahanya tidak akan berakhir sia-sia.
Kerinduan Akan Keadilan
Dalam perbincangan panjang, terselip juga keluh yang tak bisa ia sembunyikan. Ia melihat adanya kecenderungan sosial yang membuat pengunjung lebih memilih warung tertentu.
“Dari 70 pelaku usaha, 30 dikuasai mereka. Kadang ada wisatawan yang langsung pergi begitu tahu warung ini bukan milik komunitas mereka,” ungkapnya hati-hati.
Namun Pangihutan tidak ingin mengutuk keadaan. Ia lebih memilih memikirkan bagaimana caranya terus berdiri—meski perlahan, meski sendirian.
Satu Cangkir Kopi, Satu Keyakinan
Di tengah kesunyian Parapat, Sopo Kayu Panatapan tetap berdiri. Di atas bangunan yang disewa, di bawah langit yang sama yang dulu menyaksikan gelak tawa para pelancong, Pangihutan dan dua karyawan tetap menyeduh kopi—dengan tangan yang sama yang kini juga menanam harapan di ladang kopi belakang rumahnya.
Karena bagi Pangihutan Sinaga, selama masih ada usaha, masih ada jalan. Dan selama masih ada kehadiran seperti BRI yang hadir dengan dukungan nyata melalui KUR, pengusaha kecil seperti dirinya punya alasan untuk tetap percaya.
“Mungkin belum hari ini. Tapi saya yakin, suatu saat nanti, Sopo Kayu ini bakal rame lagi,” harapnya.
Kepala Unit BRI Parapat Toni Naibaho mengakui kegigihan Pangihutan sebagai pengusaha yang tetap semangat menjalani hari-hari yang tidak mudah. Apalagi kondisi kesehatan pria berusia 48 tahun ini sudah tidak lagi prima. Ada sejumlah penyakit diidap.
“Pangihutan Sinaga salah satu pengusaha yang kami amati cukup menginspirasi. Usahanya sudah cukup lama memanfaatkan KUR,” jelas Toni Naibaho yang mengawali perkenalanan NINNA kepada Pangihutan.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga