NINNA.ID – Sudah mulai ada perubahan. Dulu, sewaktu masih kecil, saya mengingat bahwa keluarga kami dari tanah rantau terhitung beberapa kali pulang kampung. Bukan di momen Paskah. Bukan di momen tahun baru dan Natal. Ya, mereka pulang kampung khusus untuk ziarah. Tak ada yang lain. Alasannya macam-macam. Intinya, mereka sangat sering pulang untuk ziarah.
Kadang alasan agar dapat pekerjaan. Kadang alasan agar dapat jodoh. Kadang alasan untuk kesembuhan. Pokoknya, macam-macam. Pernah juga beberapa kali saya dengar khusus datang untuk kesembuhan bayi mereka. Jadi, konon, bayi itu selalu menangis. Di bawah ke kesehatan, tak ada kemajuan. Tetap menangis seakan ada yang mengganggu.
Orang pun memberi nasihat: bawalah ziarah karena sedang dilihat oppungnya dia. Entah kebetulan, banyak tersiar berita, bahwa setelah ziarah, keajaiban terjadi: bayi itu tak menangis lagi.
Ada juga kisah identik. Seorang bayi sudah hampir 4 tahun tak bisa jalan. Orang lain pun memberi saran lagi: bawalah dia ziarah. Dan, tak lama kemudian, anak itu memang bisa berjalan.
Tak logis memang. Tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tapi bertanyalah pada orang-orang tua kita bahwa mereka sering melakukannya atau setidaknya pernah mendengarnya. Atau, mungkinkah ini hanya terjadi di kampung saya di Hutapaung, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan? Saya tak yakin. Pasti di tempat lain kisah serupa juga terjadi. Yakin sekali saya.
Saya masih ingat betul. Dulu, setiap pulang kampung, anak rantau hampir pasti selalu akan ziarah. Atau, mereka mengadakan ritual. Saya pernah menjadi saksi atas ritual ini. Seingat saya, ini terakhir sewaktu saya masih SMP. Sesekali di masa SMA. Berarti pada tahun 2004 ke bawah. Hari itu, jika memasak daging babi atau ayam, maka kami akan membuatnya juga sebagai sesajian.
Teknisnya, setelah daging selesai dimasak, maka akan dibuat lage tiar. Terbuat dari bayon. Lalu, di lage tiar itu, daging yang sudah dimasak disajikan. Ikut juga dengan nasi. Bahkan cuci tangan dan air minum. Dan, orang tua kami akan berkata-kata dalam bahasa Batak. Bunyinya kurang lebih demikian:
“Wahai sahala dari nenek moyang kami. Terutama kepada orang tua kami. Di sini sudah kami sajikan makanan. Datanglah kalian. Mungkin kami tak mengenal yang lain. Karena itu, kalianlah yang saling mengajak”. Begitulah kalimatnya secara ringkas. Sembari makanan itu disajikan, kami akan menunggu. Tentu saja dalam suasana yang sangat hikmat dan hening.
Beberapa saat kemudian, orang tua kami akan menyentuh hidangan itu. Saya masih ingat persis mereka akan berkata: sudah dingin. Kata mereka, jika sudah dingin, roh leluhur sudah memakannya. Saya memang kadang mau memberontak dalam hati: ya dinginlah, kan sudah lama disajikan? Tapi, beberapa kali justru memang terbukti. Hidangan itu lebih dingin dari yang tidak disajikan.
Kini, seingat saya, setelah kuliah sampai sekarang, kami tak mengadakan ritual itu lagi. Berziarah pun sudah hanya di masa Paskah atau Jumat Agung. Padahal, ini masih saya ingat persis. Malah dua kali terjadi sewaktu saya duduk di bangku SMP. Saya SMP masuk tahun 2002. Yaitu, kami sekeluarga besar dari pihak ibu memanggil roh dari leluhur.
Kami beragama? Saat itu sudah. Ayah saya sintua. Tulang saya sempat calon pastor. Artinya, kami Katolik tulen. Jadi, jangan dibilang tak beragama. Nah, pada saat itu, kami memanggil roh leluhur. Tepatnya roh oppung dari pihak ibuku. Saya ingat persis bagaimana kejadiannya. Bermula setelah sesajian. Merokok. Lalu, mulailah seseorang meronta-ronta kesakitan.
“Sudahlah, kami tahu penyakitmu parah. Jangan ulangi lagi. Kami tahu kok,” begitu oppung boruku berkata. Memang, sebelum meninggal, konon oppungku itu mengerang demikian. Setelah puas mengerang, sosok yang dirasuki mulai berkata-kata. Pokoknya, ini saya ingat persis. Hampir semua dari kami dipanggil. Uniknya, ia tahu juga nama cucunya yang belum lahir sebelum ia meninggal.
Saat itu, saya sudah mulai berpikir kritis. Darimana ia kenal? Kok bisa? Sejak saat itu, aku mulai rajin berkunjung ke perpustakaan di SMP-ku SMP St.Lusia Doloksanggul. Saya mencari buku-buku berkaitan tentang okultisme, horor, dan semacamnya. Semakin intens di masa saya sekolah di SMA Seminari Pematang Siantar. Hehehe, sebelumnya memang saya dibuat sekolah calon pastor.
Dari buku itu kemudian saya ketahui bahwa roh yang berbicara itu bukan oppungku. Begitu simpulan semua buku. Kata buku-buku itu, roh itu adalah iblis yang meniru oppungku. Sebab, katanya, iblis sangat pandai meniru. Semula, saya percaya pada buku-buku itu. Lama-lama, setelah juga membaca banyak buku filsafat dan tatasurya di fisika, aku jadi percaya bahwa roh itu adalah oppungku. Mengapa percaya? Tunggu edisi lanjutan.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor  : Mahadi Sitanggang