NINNA.ID – Gempa berkali-kali mengguncang Tapanuli Utara. Dilansir dari BMKG, malah sampai lebih 50 kali sudah. Kasihan warga. Tak sedikit dari mereka yang trauma. Akhirnya, mereka memasang tenda. Mereka tidur di tenda itu. Berkumpul bersama. Membuat api. Tidak lelap. Hanya sebatas berlindung dari angin malam.
Mereka pun meletakkan kepala. Tertidur tetapi tak nyenyak. Ada yang berjaga-jaga. Mereka seperti pada situasi perang. Itulah yang saya dapat kisah dari seorang teman di sana. Ia tinggal di Sipoholon. Pada gempa pertama, mereka tidur di teras. Gempa datang lagi. Berulang-ulang. Maka, mereka membuat keputusan.
Mereka harus membuat tenda. Sampai saya membuat tulisan ini hari ini (9 Oktober), masih banyak dari mereka yang tinggal di tenda. “Nanti malam bang, saya berencana tidur di rumah,” katanya kepada saya. Itu dari Sipoholon. Dari Tarutung, kisah serupa juga identik. Ia juga sangat trauma. Berguncang sedikit saja, ia langsung keluar rumah.
Traumanya beralasan. Soalnya, lemari di rumahnya jatuh. Meja juga. Buku-bukunya berserakan. Gelas berpecahan. Ia juga memperlihatkan kualinya yang telungkup. Hanya kulkas yang tetap berdiri. Itu pun bergeser cukup jauh. Jadi, ketika sedikit guncang, ia langsung ketakutan. Kisah seperti itu pasti banyak dari Tarutung atau Sipoholon.
Kepada kita juga sudah ditunjukkan. Ada rumah yang rusak. Tanah bergeser. Gereja-gereja pun tak kebal. Gempa memang membuat trauma. Trauma yang dahsyat. Kita takut akan sebuah hal. Takut pada hal-hal yang mengerikan. Namun, sebelum ini, bukan kita yang takut. Yang takut justru Tuhan. Kita sebut dengan Mula Jadi.
Ini menurut cerita lisan. Jadi, ada satu kisah. Tersebutlah seorang wanita. Namanya Siboru Deak Parujar. Ia semacam peri. Makhluk khayangan tepatnya. Ia turun ke bumi. Pada saat itu, bumi masih hanya air. Siboru Deak Parujar punya misi. Ia harus membuat tanah. Di tanah itulah ia menciptakan tempat untuk hidup kelak.
Mula Jadi Nabolon tidak senang. Ia tak mau putrinya kerasan di bumi. Maka, Mula Jadi Nabolon mengirim makhluk khayangan baru. Namanya Naga Padoha. Tujuannya hanya mengganggu supaya Siboru Deak Parujar tidak betah. Maka, tanah itu pun pelan-pelan runtuh. Kembali dibenam air. Siboru Deak Parujar sedih.
Ia melapor pada Mula Jadi Nabolon. Mungkin ada perdebatan. Toh, Mula Jadi Nabolon memang sengaja. Sengaja agar Siboru Deak Parujar kembali ke langit. Tetapi, Siboru Deak Parujar memang punya niat utuh. Ia memberi penjelasan. Mula Jadi Nabolon luluh. Maka, Mula Jadi Nabolon memberi Siboru Deak Parujar sebuah bekal.
Bekal itu seperti pedang. Dengan pedang itu, Siboru Deak Parujar bisa menang. Ia mengikat Naga Padoha. Ditancap lagi dengan pedang itu. Naga Padoha terikat. Ia tak sekuat dulu lagi. Dulu, ia leluasa bergerak. Ketika bergerak, tanah runtuh ke laut. Setelah terikat, ia hanya bisa menggeliat. Kekuatannya berkurang. Ketika menggeliat, tanah hanya bergeser.
Kehidupan pun tercipta. Siboru Deak Parujar senang. Namun, Naga Padoha tetap diikat. Ia tak kembali ke langit. Tujuannya agar manusia ingat pada kebaikan makhluk langit. Ketika bergerak, bumi sedikit guncang. Kadang, tanah bisa retak. Namun, manusia takut. Takut kalau-kalau ikatan itu lepas. Tanah bisa jadi air. Maka, manusia berteriak.
Teriakannya begini: suhul, suhul, suhul. Mereka sembari memukul apa saja. Semua jadi riuh. Ribut. Sekampung memukul apa saja pasti ribut. Tujuannya agar Naga itu tak lepas. Mereka meneriakkan suhul karena suhul adalah pegangan utama untuk memegang pedang. Ketika diucapkan begitu, manusia berharap Naga Padoha takut karena akan diikat, mungkin ditikam.
Gempa pun seketika berhenti. Begitulah kepercayaan tradisional Batak. Mereka meyakini, Naga Padoha ibarat hewan. Kalau diteriaki, maka akan takut. Semakin berteriak dan memukul apa saja, Naga Padoha diharapkan semakin takut. Apalagi kalau sudah sampai disebutkan satu bagian dari senjata pamungkas Siboru Deak Parujar: suhul.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang