NINNA.ID – Doloksanggul merupakan ibu kota Kabupaten Humbang Hasundutan. Di Kabupaten hasil pemekaran dari Taput ini, umat muslim termasuk minoritas. Dalam data yang saya himpun, umat muslim di Humbang berada pada angka 3,01 persen. Mereka banyak di daerah menuju pantai laut di Pakkat, Parlilitan, juga Tarabintang.
Walau begitu, kehadiran muslim ke bumi Humbang Hasundutan sudah berlangsung lama. Menurut penelitian Rima Sihombing, setidaknya muslim sudah ada di Humbang Hasundutan sejak tahun 1930-an dibawa oleh tokoh-tokoh agama Islam dari Pahae, Barus dan Aceh. Islam masuk ke Humbang Hasundutan melalui jalur perdagangan dan dakwah.
Bukti bahwa muslim sudah ada di Humbang Hasundutan, Lanjut Sihombing dalam penelitiannya, adalah adanya mesjid Barangan yang didirikan pada tahun 1937.
Masih menurut penelitiannya, pada tahun 1950-an Islam mengalami perkembangan pesat, yaitu dengan adanya komunitas Islam dan kelembagaan Islam di Humbang Hasundutan.
Hingga kini, data yang terhimpun dari berbagai sumber, dari 10 kecamatan di Humbang, sudah tersebar 10 masjid di enam kecamatan, termasuk Kecamatan Doloksanggul. Di Doloksanggul inilah masjid terbesar, juga termegah. Namun, Doloksanggul adalah kota yang ramah. Meski minoritas, umat muslim di Doloksanggul tetap bisa berdampingan dengan masyarakat setempat.
Bahkan, ada banyak rumah makan berlabel halal di sana. Suatu saat, pada pengumuman juara 1,2,3 lomba menulis cerita rakyat Humbang Hasundutan, seorang teman mempunyai janji. Teman itu bernama Denny Lumban Gaol. Katanya begini kepada saya, “Jika aku menang, kutraktir kamu di Bakso Filza”.
Sayang, saya tak jadi ditraktir. Dia juara dua. Saya juara satu. Traktiran pun gagal. Tapi, saya tetap senang. Oh, iya. Bakso Filza adalah salah satu bakso paling laris di Doloksanggul. Bakso ini berlabel halal. Masih banyak juga yang berlabel halal. Termasuk Rumah Makan Sibundong khas kuda milik orangtua siswa saya bermarga Tampubolon.
Dalam amatan saya, warga muslim di Humbang termasuk ramah. Setidaknya, selama bulan puasa, di sepanjang Jalan Merdeka hingga Jalan Siliwangi Doloksanggul, warga muslim sudah berjualan kue untuk bukaan, bahkan mulai pukul belasan. Sudah pasti, target pasar mereka bukan orang islam.
Dan, nyatanya, lebih banyak Kristen yang membeli kue bukaan. “Ini bukan untuk muslim saja. Ini untuk warga Doloksanggul,” demikian kata seorang ibu penjual kepada saya. Kisah ini menjadi sedikit bukti, Doloksanggul adalah kota yang ramah. Umat muslim di sana pun sangat toleran dan terbuka.
Apa muslim di Humbang adalah pendatang? Itu salah total. Banyak juga muslim di Humbang adalah orang Humbang asli. Mereka berarti orang Batak. Dan, mereka sangat dan sangat toleran. Terbuka. Adaptif. Dan mudah bersosial. Hari ini saya berseloroh kepada seorang teman guru. Ia seorang muslim.
Ia Boru Sihite. Kebetulan, sekolah kami mengadakan ibadah pemberangkatan siswa-siswa SMA Negeri 1 Doloksanggul. Beliau ikut dalam ibadah. Saya tahu, beliau pasti sudah berpikiran sangat terbuka. Mungkin, beliau sudah seperti saya. Sahabat-sahabat saya banyak juga islam. Saya sering ikut acara ibadah mereka. Saya merasa aman. Sama nyamannya ketika saya di gereja.
Artinya, ikut ibadah mereka tak membuat saya “terbakar” seperti kata banyak orang. Adem-adem saja. Iman saya pun tetap utuh dan teguh. Saya tak terganggu. Saya tahu, iman itu di hati, bukan di mulut. Nah, sampai selesai ibadah, ibu boru Sihite itu tetap setia. Malah ia duduk di kursi. Saya kocar-kacir ambil video dan foto.
Masih banyak kisah serupa untuk diingat. Dulu, sanggar kami Sanggar Maduma dipanggil ikut memeriahkan pernikahan Batak-Muslim di Pollung. Mereka juga ramah. Ramah sekali. Mereka malah tiba-tiba diam ketika kami berdoa makan. Ada lagi pengalaman tak kalah menarik. Kali ini dari Bapak tua marga Situmorang. Ia mengambil istri boru Sihombing.
Ia bercerita banyak hal tentang Situmorang. Malah ia bertanya, mengapa tak ikut partangiangan Situmorang minggu lalu di Doloksanggul? Saya terdiam. Ia kemudian melanjutkan. “Saya aja Islam ikut partangiangan, masa kamu enggak?”. Ia pasti bercanda. Tapi, saya merasa begitu terharu. Dari sini saya tahu, Batak apa pun agamanya ternyata sangat gembira pada saudaranya orang Batak.
Karena itu, setelah dari sana, saya memanggil seorang siswa saya boru Sitompul. Kebetulan, ibu siswa saya ini adalah putri Bapak Situmorang tadi. “Aku tulangmu,” kataku padanya. Siswa lain menyahu antusias: “Beri Pak Tumorang kereta”. Saya tertawa. Sebab, orang tua siswa boru Sitompul tersebut memang pemilik Showroom Honda di Doloksanggul. Ada-ada saja memang siswa zaman sekarang ini.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang