NINNA.ID – Katanya pernikahan ideal versi Batak adalah marpariban. Begini maksudnya. Saya marga Situmorang. Saya dilahirkan oleh ibu keturunan Lumban Gaol. Berarti, ibuku Boru Gaol. Paribanku umumnya Boru Gaol. Semuanya berarti bisa dan ideal menjadi pasangan saya. Tetapi, tak semua Boru Gaol adalah pariban kandungku. Pariban kandungku hanyalah anak dari saudara laki-laki ibuku. Hanya itu.
Baiklah. Saya pikir sudah jelas. Semua Boru Lumban Gaol adalah paribanku meski tak kandung. Tapi, tak semua Boru Gaol bisa saya nikahi. Begini misalnya. Ayahku marga Situmorang. Ia punya seorang adik perempuan. Ia menikah ke marga Lumban Gaol. Kini ia punya putri bermarga Lumban Gaol. Meski boru Lumban Gaol, dengan status secara marga ia adalah paribanku, namun ia tak bisa saya nikahi.
Mengapa? Ini terkait Dalihan Na Tolu. Ibuku boru Lumban Gaol. Berarti, kami adalah borunya marga Lumban Gaol. Lumban Gaol berarti hula-hula kami. Ia raja kami. Itu idealnya. Namun, beda dengan saudari ayahku yang kini dinikahi marga Lumban Gaol. Pada posisi seperti ini, kami adalah hula-hula marga Lumban Gaol. Kami adalah rajanya. Jadi, itu sebabnya saya tak bisa menikahi boru Gaol tersebut.
Begitulah sistem pariban Batak. Disebut ideal bukan berarti memang jadi itu skema yang paling baik. Disebut ideal, ya, karena sudah patuh pada Dalihan Na Tolu. Jadi, jangan disalah mengerti bahwa marpariban adalah pasangan paling cocok. Ini hanya terkait pakem Dalihan Na Tolu. Seperti posisi saya tadi. Saya marga Situmorang. Ibuku Boru Lumban Gaol. Marga Lumban Gaol berarti hula-hula kami.
Karena itu, ketika saya memutuskan untuk menikah, jika saya menikahi putri dari saudara ibu saya tersebut, saya tak menjungkirbalikkan pakem. Ya, tetap saja posisi saya boru. Sebab, dengan menikah putri dari saudara ibu saya tersebut, saya berarti borunya paman saya. Jadi, mereka tetap hula-hula dan kami tetap boru. Itulah mengapa disebut ideal. Ideal di sini berarti pas, bukan bahwa ini yang paling cocok. Sekali lagi, bukan paling cocok.
Saya menegaskan itu untuk meng-counter kekeliruan. Jadi, begini, ada selentingan dari luar. Mereka mengatakan bahwa pernikahan paribanlah yang ideal sehingga kalau tak marpariban berarti tak ideal. Maksudnya bukan begitu. Baiklah, semoga sudah paham konteksnya. Sekarang, masuk ke konteks lain. Ini terkait tentang konteks buruk. Jadi, marpariban ini dulu sangat ketat. Malah dirindukan.
Ibaratnya begini. Saya punya 4 orang anak. Tiga orang putra dan satu orang putri. Tiga anak itu akan membawa marga saya. Apa pun ceritanya. Sementara itu, si putri akan mengambil marga lain. Karena putri satu-satunya, secara naluri, bisa saja saya memilihkan bere saya untuknya agar putri itu tetap aman di lingkaran keluarga saya. Dalam hal ini, bere berarti adalah anak saya. Tapi, status adatnya perempuan (boru) meski ia laki-laki.
Nah, dari sana, muncullah kemudian umpasa ini: amak do rere, anak do bere. Kurang lebih, filosofinya, bere adalah anak perempuan saya.
Dari sinilah simalakama pernah muncul. Karena naluri “agar putri saya tetap aman”, seseorang pernah memilihkan berenya untuk putrinya. Masih kecil. Putrinya belum tahu apa-apa, tapi ia sudah dijodohkan. Begitu juga dengan berenya. Mereka belum tahu apa-apa, mereka sudah dijodohkan.
Maka, ya, terjadilah Batu Gantung di Parapat. Ia adalah putri yang tak terima menikah dengan anaknya namborunya, paribannya sendiri. Kita sudah tahu ceritanya. Namanya Seruni. Ia bunuh diri. Terpaksa begitu. Sebab, paribannya ternyata bodoh sekali. Bertolak belakang dengan Seruni. Seruni pun berlari. Berlari. Terus berlari. Hinggu di ujung tebing. Di bawah sana permukaan Danau Toba. Ia melompat ke bawah.
Rambutnya panjang. Ia memang jelita. Rambut itu tersangkut di ranting-ranting pohon. Dia tak sampai ke permukaan danau. Anjing Seruni setia. Ketika Seruni melompat, anjing itu ikut serta. Ia pun tergantung bersama Seruni. Jadilah mereka menjadi Batu Gantung. Itulah mitosnya. Ilmiahnya tentu bukan begitu. Kita menyebutnya stalaktit. Ini semacam batu tetes. Stalaktit terbentuk dari pengendapan kalsium karbonat dan mineral lainnya.
Jika harus dilogiskan, mitos itu menjadi begini. Seruni bunuh diri. Tetapi, ia menggantung. Juga anjingnya. Kebetulan di tanah atau batu berkapur. Batu tetes namanya. Batu itu menetes di sekujur tubuh Seruni dan anjingnya. Lama-lama, batu itu mengumpul dan mengeras. Sementara tubuh Seruni membusuk. Lama. Lama. Lama. Akhirnya, tubuh yang membusuk dan batu yang mengeras berubah menjadi Batu Gantung.
Selalu ada hikmah yang bisa kita ambil. Hikmahnya adalah bahwa boleh menjodohkan. Boleh saja. Karena itu ada profesi comblang. Tetapi, jangan memaksakan. Jika sudah ideal dan mereka berdua sepakat membangun rumah tangga, silakan. Berdosa kita jika tak mendukung. Namun, jangan sebaliknya. Karena ideal, mereka dipaksa. Padahal, mereka tak seia sekata. Sebab, jika mereka bunuh diri, mereka tak akan menjadi batu gantung. Kecuali ada di sana ada batu tetes.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang