NINNA.ID – Jamak diketahui, pada Batak kuno, babi diharamkan. Itu kemudian terlihat dalam tradisi kepercayaan parmalim. Dapat dipastikan, ketika babi sudah diharamkan, berarti sudah masuk pengaruh agama, atau katakanlah kepercayaan dan paham tertentu. Sebab, secara biologis, manusia bukan herbivora saja (pemakan tumbuhan) atau karnivora saja (pemakan daging).
Manusia pemakan segalanya (omnivora). Ketika secara biologis manusia memakan segalanya lalu ada orang-orang tertentu tak memakan bahan makanan tertentu secara berkelompok dan bukan individual, maka dipastikan itu adalah pengaruh paham atau ritual. Jika hanya perorangan (individual), larangan memakan bahan makanan tertentu pasti urusan suka tak suka atau urusan kesehatan.
Beda dengan Batak kuno secara komunal. Mereka tak memakan daging babi pasti bukan karena urusan suka tak suka atau urusan kesehatan. Mereka mengharamkannya pasti karena urusan ritual dan kepercayaan. Sebab, sebelum paham itu tiba, secara naluri, apalagi pada masa berburu, semua binatang pasti menjadi objek buruan untuk urusan survival.
Pertanyaan kita, pengaruh siapa orang Batak kuno tidak memakan daging babi? Apakah Islam? Mungkin, agak sulit untuk mengakuinya, apalagi saat ini Batak selalu diidentikkan dengan Kristen. Rumah Makan Khas Batak sudah pasti membuat menu babi sebagai andalannya. Padahal, di luar daerah Utara, di daerah Selatan, Batak didominasi oleh Muslim.
Namun, melihat beberapa sumber tradisi, kita tak bisa menutup kemungkinan bahwa Batak pada suatu masa sangat dipengaruhi kebudayaan Islam. Dalam satu versi tarombo Batak, Batara Guru mempunyai satu keturunan bernama Tuan Sori Mahumet. Penamaan ini tak bisa dipungkiri adalah pengaruh paling tidak budaya Hindu-Budha (Sori) dan mungkin Islam (mahumet).
Mahumet bisa jadi adalah versi dekat dengan Muhammad. Kebetulan, saya membaca salah satu postingan admin media sosial Sejarah Batak, Karles Hasiholan Sinaga. Dalam postingan itu, ia merujuk pada Dr.B.Hagen dengan salah satu kalimatnya memang mengandung nama Muhammad. Muhammad bahkan diposisikan sangat agung sebagai bukan makhluk biasa.
Mengutip terjemahan Karles Hasiholan Sinaga dalam postingan itu, demikian kurang lebih kalimat utuhnya: ada juga dewa yang tinggal di surga, Nabi Muhammad, bapak dan hakim manusia, dan Padi Allah, bapak badai dan hujan. Dua dewa terakhir memiliki asal usul Islam. Mereka cukup jelas tertulis di dahi mereka dan penyembahan mereka bahkan di jantung Tobah di danau dengan nama yang sama membuktikan kemajuan tak tertahankan dari Muhammadisme,…
Pertanyaan kita, apakah ritual Parmalim terpengaruh oleh kebudayaan Islam? Atau, mungkinkah ritual yang dekat dengan kedatuan ini kebetulan sebelumnya sudah tak memakan daging babi? Lalu, apakah babi memang diharamkan sehingga tidak saja untuk urusan ritual, tetapi juga diharamkan untuk urusan sehari-hari, seperti kebutuhan survival?
Maksudnya, apakah Parmalim, misalnya, dan mungkin Islam untuk kategori luas (maaf!) kalau tak bisa mengonsumsi, tak bisa juga untuk menyediakan? Saya berpikir demikian karena dalam satu cabang agama Nasrani (saya tak menyebut Kristen karena mereka tak mengaku Kristen) yang konon mengharamkan babi ternyata bisa menyediakan, bahkan beternak babi.
Saya jadi teringat pada cerita Thompson Hs. Kalau tak salah ingat, beliau konon berdebat dengan Suhunan Situmorang tentang boleh-tidak menyediakan babi. Menurut sumber Thompson Hs, Sisingamangaraja memang tak mengonsumsi daging babi. Namun, untuk pamannya, ia bisa menyediakannya. Sesuatu yang masuk di akal.
Apalagi pada suatu saat di Ronggur Nihuta, Samosir, saya pernah melihat Batak muslim menerima parjambaran yang saat itu kebetulan babi. Batak muslim itu menerimanya. Tetapi, menerima sebatas menerima. Sebab, setelah diterima, ia lalu memberikannya kepada orang yang bisa memakannya. Ia hanya menyanggupi adat tanpa harus memakannya.
Oh, iya. Pada satu versi tarombo, Batara Guru bersaudara dengan Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru mempunyai dua anak: Sori Mahumet dan Datu Tantan Debata; dua perempuan: Siboru Sorbajati dan Siboru Deakparujar. Sementara itu, Mangala Bulan hanya mempunyai satu anak (Tuan Dipampattinggi) dan Soripada dua anak (Tuan Sirimangaraja dan Si Raja Ilik).
Menariknya, dari tiga bersaudara sebagai keturunan Manuk Hulambujati, hanya Batara Guru yang bisa menikmati daging babi. Sementara Soripada dan Mangalabulan tidak bisa. Apakah sejak dari kedua ini (tentu dari versi tarombo itu) Batak mulai dipengaruhi Islam dan salah satu anak Bataraguru, yaitu Sri Mahumet, juga sudah dipengaruhi? Tafsir luas masih bisa diterka.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor    : Mahadi Sitanggang