NINNA.ID – Ada yang perlu dikoreksi tentang cara kita beragama. Maaf jika saya terlalu jauh mengurusi kepercayaan orang. Tetapi, biarlah. Barangkali melalui tulisan singkat ini kita bisa berdialog.
Mungkin sekali saya keliru karena terlalu merasa bahwa Tuhan itu sangat toleran. Atau, barangkali kitalah yang terlalu membuat penilaian yang salah terhadap ajaran Tuhan bahwa Ia sangat dan sangat otoriter sehingga tak bisa dibantah.
Nah, ini menyangkut budaya Batak. Saya tak mau menunjuk-nunjuk. Mari sadar sendiri. Bahwa ada beberapa sekte gereja yang terlalu radikal dalam ajarannya. Saking radikalnya sampai-sampai menganggap semua ritus budaya adalah sipelebegu. Hasil kebudayaanya berupa ulos pun dibaca sebagai bentuk lain dari penyembahan berhala sehingga dia dimusnahkan.
Terus terang, saya sakit hati ketika melihat kembali video itu. Seseorang dengan menggunakan nama Yesus dan Tuhan membakar ulos. Saya juga beragama. Entahlah cara saya beragama sedang salah. Namun, saya pikir itu sungguh tak bijaksana. Buruk bagimu belum tentu buruk bagi orang lain. Lagipula, apa faedahnya mempertontonkan diri membakar ulos? Supaya Tuhan bahagia?
Entahlah. Tapi, pertanyaan kritis bisa diajukan: apakah Tuhan punya medsos sehingga ulos itu dibakar dan dipertontonkan? Bagaimana kalau kita tak tanggung-tanggung untuk radikal bahwa ternyata medsos pun ternyata barang haram karena dulu sekali belum dipakai Yesus. Tetapi, sudahlah. Poin saya sebenarnya ada di sini: apa dengan membakar ulos maka teman-temanmu bahagia?
Jawaban atas pertanyaan itulah harusnya perlu membuat kita untuk bersikap arif dan bijaksana. Untuk apa beragama jika tujuannya adalah untuk membuat orang lain tidak nyaman? Terus terang, saya tidak nyaman dengan ulah orang yang membakar ulos itu. Tentu saja sikap itu jauh dari kata bijaksana. Bagi saya, sikap itu, kalau tak beragama, ini justru sikap kolot nan primitif.
Ya, ya, ya, kitab suci selalu punya teks sebagai pembenaran. Sebab, Tuhan pada satu kalimat pernah bersabda: Ia datang untuk membawa pedang, bahkan pada saudara-saudara kandung. Tetapi, apakah itu artinya bahwa Tuhan hanya datang membawa pedang dan kerusuhan semata? Mengapa kita tidak mengambil teks lain bahwa Tuhan adalah cahaya yang penuh kasih?
Artinya, ternyata kita ini justru egois. Pada satu teks kita sangat radikal. Pada teks lain, kita malah longgar. Tidak konsisten. Kamu membakar ulos dan mengatakan itu sebagai sipelebegu. Apa dasarnya coba? Kalau semua tindakan harus berdasar biblis ketat, bahkan pakaian yang kamu kenakan sebenarnya salah kok. Yesus tak pernah memakai jas. Lalu, mengapa kamu pakai jas itu, sementara ada umatmu yang tak makan?
Yesus tak menikah. Lalu, mengapa kamu menikah? Yesus puasa 40 hari. Lalu, mengapa kamu tak puasa? Yesus mengasihi orang lain, bahkan musuhnya. Lalu, mengapa kamu memusuhi temanmu, bahkan keluargamu? Terlalu banyak. Maksud saya, kalau radikal mengartikan teks, jangan radikal secara sebagian. Radikallah secara total dari keseluruhan kitab suci. Tetapi, aku yakin kamu tak akan bisa radikal total pada keseluruhan teks. Kamu pasti akan pilih pilih.
Lagipula, Yesus tak semudah itu untuk diikuti. Karena itulah manusia harus bijaksana. Kitab suci itu untuk direnungkan, bukan diartikan kata demi kata. Jika kamu mengartikannya sebatas huruf demi huruf, kamu sendiri yang akan kerepotan. Akhirnya, jadilah kamu gila. Gila karena kamu tak tahu bahasa. Emangnya semua terjemahan bahasa Indonesia kitab suci itu sudah benar dan kontekstual sebagaimana aslinya?
Andai kamu belajar lebih gigih, kamu akan tahu bahwa penerjemah kitab suci dari bahasa Aram ke bahasa Inggris ada yang tidak benar-benar mewakili makna paling aslinya.
Apalagi terjemahan bahasa Inggris itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia ke bahasa Batak, maka makna asalinya pun semakin keliru. Maksud saya, jangan konyol dan sok-sok paling beragama.
Jika beragama justru membuatmu membenci budayamu, saya harus bilang ini: kamu sebenarnya menyembah Tuhan apa tuhan sih? Mengapa ada umatmu yang bisa menari sambil menyanyikan lagu gereja tapi langsung tarik diri dari koor bersama ketika lagu yang sama dinyanyikan sambil manortor? Memang manortor beda dengan menari? Atau, apa Tuhan pernah mengajarkan seperti itu: jangan bernyanyi sambil manortor?
Kalau ada pada teks kitab suci begitu, oh, janganlah sembarang menyebut nama Tuhan. Kan tak boleh? Oh my God. Oh Tuhan. Hapuslah semua kata itu dari mulutmu. Kan itu sembarangan bukan? Semoga kamu mengerti isi tulisan ini. Maksudnya, jangan sok radikal jika hanya pada satu teks ketat, tetapi pada teks lain malah sangat longgar dan longgar. Bukan urusanku sih membahas paham agamamu.
Tapi ingat. Adalah juga urusanku menjaga budayaku yang menurutku itu baik.
Jadi, kalau di gerejamu ulos haram lalu kau menggantinya dengan salimut sambil memberinya sebagai ulos hela, kau itu sebenarnya menghina budaya kami. Kamu mungkin saja merasa tak terhina. Mungkin sekali kamu merasa memuja Tuhan dengan cara menghina budaya. Tetapi, apakah Tuhan sejahat itu: dipuji dengan cara menghina budaya?
Terakhir mau saya bilang: belajarlah filsafat dan jadilah bijaksana. Yang saya tahu, orang beragama makin taat budaya, bukan malah alergi. Kecuali, kita menyembah Tuhan yang berbeda. Atau, Tuhan Katolik berbeda ya dengan Tuhan sebagian sekte karismatik? Kok saya merasa sama ya sehingga kamu manortori salimut karena takut tuhan terbakar di ulos?
Mungkin, tulisan ini tidak bijaksana. Tetapi, biarlah supaya tak ada lagi orang ke depan yang merasa di atas langit lalu menghina Pusuk Buhit atas nama Kristus, Yesus, Tuhan, dan semacamnya.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang