Samosir, NINNA.ID-Di balik bentangan indah Danau Toba yang memesona, tersimpan ironi yang jarang terlihat oleh mata para pengambil kebijakan.
Suatu pagi, seorang pemandu wisata lokal dari Samosir mendapat tugas menjemput tamu di Bandara Silangit. Namun karena minimnya pelatihan dan pengalaman, ia justru berkendara ke Muara—arah yang berlawanan.
Sederhana memang, tapi kisah ini mencerminkan persoalan mendasar yang menghambat laju kemajuan pariwisata kita: kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum siap menyambut lonjakan wisatawan.

Padahal, jumlah kunjungan wisatawan ke Samosir mencapai 209% dari target—menembus angka 1,77 juta orang. Namun, apakah pertumbuhan angka ini dibarengi dengan kesiapan para pemandu di lapangan?
Menurut Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Samosir, ketiadaan pelatihan yang berkesinambungan membuat para pemandu lokal kian rentan melakukan kesalahan.
Mereka beroperasi dengan naluri, bukan dengan keahlian profesional.
“Kami tidak menuntut banyak, hanya minta dukungan pengadaan pelatihan yakni pemandu yang memiliki jam terbang tinggi melatih pemandu yang senang dilatih. Agar mereka bisa menjalankan tugas dengan layak dan membanggakan Samosir di mata dunia,” ujar Daniel Manik, Sekretaris HPI Samosir.

Di sisi lain, Bupati Samosir telah menegaskan bahwa tema pembangunan 2024 adalah percepatan kesejahteraan melalui ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, dengan prioritas pada pengembangan pariwisata berkelanjutan serta reformasi birokrasi.
Komitmen ini perlu diwujudkan melalui tindakan nyata: alokasi anggaran untuk pelatihan pemandu wisata.

Pariwisata bukan hanya soal lanskap indah, tetapi tentang pengalaman manusia. Dan pengalaman itu dimediasi oleh mereka—pemandu wisata—yang menyambut, menjelaskan, dan memperkenalkan warisan budaya Batak kepada dunia.
Apa Jadinya Tanpa Mereka?
Kita tidak sedang bicara tentang sekadar menyambut turis, tapi menjaga identitas dan ekonomi lokal. Berdasarkan data Podes 2024, sebagian besar desa di Samosir bergantung pada pertanian dan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi.
Akan tetapi, minimnya pelatihan membuat anak-anak muda Samosir lebih tertarik merantau daripada bertahan sebagai pemandu lokal.
Bukankah sudah saatnya kita memutus mata rantai ini?
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mencanangkan pengembangan destinasi unggulan dan penyediaan SDM unggul melalui pendidikan gratis dan sistem digitalisasi pelayanan publik.
Visi ini akan tetap menjadi slogan jika tidak menyentuh akar kebutuhan daerah seperti Samosir. Dana pelatihan pemandu wisata bukan beban, melainkan investasi jangka panjang dalam reputasi pariwisata nasional.
Apalagi Samosir masuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba dan Geopark Kaldera Toba yang kini mendunia.

Kami Tidak Minta Banyak, Hanya Kesempatan
Satu modul pelatihan. Satu mentor dari praktisi pariwisata profesional. Praktek nyata di lapangan. Itu sudah cukup untuk mengubah nasib seorang pemuda di Lembah Sagala, Tomok, atau Pangururan dan yang tinggal di desa-desa di Kabupaten Samosir, agar bisa menyambut tamu asing dengan percaya diri.
Jangan biarkan anak-anak Samosir hanya menjadi penonton di panggung pariwisata yang mereka bangun sendiri.
Sudah saatnya mereka juga mendapat tempat di garis depan, dengan bekal yang layak.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga