Samosir, NINNA.ID-Gok di si hassang nang eme nang bawang. Demikian petikan lagu Pulo Samosir, salah satu daerah Suku Batak Toba. Lagu tersebut diciptakan oleh Nahum Situmorang. Hingga kini lagu tersebut masih sering dinyanyikan.
Dalam lagu tersebut, ia menggambarkan Pulau Samosir penghasil bawang dan hasil tanaman lainnya. Akan tetapi, kejayaan itu kini semakin memudar.
Ladang-ladang yang dulu dipenuhi hamparan bawang merah dengan warna khas dan aroma yang menggugah kini digantikan dengan hamparan jagung.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, luas lahan dan produksi bawang merah di Samosir terus mengalami penurunan. Pada tahun 2018, produksi bawang merah masih mencapai 19.768 kwintal, tetapi turun menjadi 14.994 kwintal pada tahun 2019.
Meski sempat meningkat menjadi 21.468 kwintal pada 2020, tidak ada data yang tersedia untuk tahun-tahun berikutnya, seolah mengisyaratkan tren yang tidak menggembirakan bagi petani.
Di Kecamatan Simanindo, yang tercatat memiliki produktivitas tertinggi, petani masih bisa memanen 75 kwintal per hektar, sementara kecamatan lain seperti Sianjur Mula-Mula, Harian, Palipi, dan Onan Runggu mengalami hasil yang lebih rendah.
Beberapa kecamatan lain hanya mampu menghasilkan di bawah 50 kwintal per hektar.
Gagal Panen, Petani Menyerah
Lenny Tambunan, seorang petani bawang merah di Simanindo, merasakan betul perubahan ini. Ia mengisahkan bagaimana cuaca tak menentu menjadi tantangan berat. Gerimis di siang hari saat matahari terik dan kekeringan berkepanjangan membuat tanaman bawangnya mati.
“Bisa dibilang seperti sedang ‘berjudi’. Modal besar untuk bibit dan perawatan bisa habis begitu saja kalau cuaca tak menentu. Beda dengan 20 tahun lalu, cuaca dulu lebih bersahabat,” keluhnya belum lama ini saat ditanya NINNA terkait prospek budidaya tanaman bawang merah.
Di tempat lain, Aljori Sihaloho, petani lainnya di Langat, Simanindo, juga merasakan dampak yang sama. Ia menegaskan bahwa pupuk dan obat-obatan sangat berpengaruh dalam perawatan bawang merah.
“Tidak cukup hanya pupuk kompos, harus ada dukungan pupuk kimia,” ujarnya.

Sayangnya, harga pupuk dan obat-obatan terus meroket, membuat banyak petani menyerah. Tak hanya itu, kurangnya regenerasi petani muda juga menjadi tantangan.
Generasi muda di Samosir tampaknya lebih memilih pekerjaan lain daripada bertani bawang merah, yang penuh dengan ketidakpastian.
Harapan di Tengah Suramnya Masa Depan
Para petani berharap ada dukungan nyata dari pemerintah, baik dalam bentuk subsidi bibit, pupuk, maupun teknologi pertanian modern yang bisa meningkatkan produktivitas.
Tanpa langkah konkret, penggalan lagu Pulau Samosir yang jaya penghasil bawang merah hanya akan menjadi kenangan. Kini, sebagian besar bawang merah yang beredar di Samosir justru berasal dari luar daerah, bahkan dari Pulau Jawa dan impor.
Akankah Samosir bisa kembali berjaya sebagai penghasil bawang merah? Ataukah kejayaan itu benar-benar telah berlalu, menyisakan nostalgia bagi mereka yang pernah merasakannya?
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga