SAMOSIR – Pada acara perkawinan orang Batak, ada beberapa nama atau istilah yang biasa dikenal dalam acara adat itu. Antara lain: Mangalua, Dialap Jual, dan Dialap Banebane. Nah, yang ingin kami sampaikan kepada pembaca melalui Ruhut ini adalah “Dialap Banebane”.
Hulahula dan marga boru yang akan dibahas pada ruhut kali ini dipastikan sudah memiliki hubungan yang akrab dan harmonis, namun sering pada generasi penerus sekarang tidak ada yang menyambung atau menjembatani hubungan itu.
Di perjalanan hidup mereka, sering kali keturunan marga boru tadi banyak mengalami masalah yang terjadi semisal ada sanak keluarga yang meninggal padahal umurnya masih muda. Ada sanak saudara sudah menduduki sebuah jabatan tidak lama langsung meninggal, bahkan ada beberapa sanak saudara sudah punya rezeki yang berlimpah namun tidak punya keturunan.
Hal inilah yang menjadi pergumulan hidup buat pihak marga boru tersebut. Berdasarkan dari sejumlah permasalahan tadi, maka timbullah niat mereka ingin Mangulahi. Lantas dalam prosesnya, pengetua dari marga boru pun pergi ke rumah hulahula mereka dan langsung menyampaikan rencana dari keluarga mereka.
Kemudian, sesuai adat Batak, hulahula-nya tidak akan bisa melarang maksud keluarga pamoruannya, dan bahkan pihak pamoruannya pun akan membujuknya (Mangunung) si calon melalui bibinya (Namborunya).
Ketika si perempuan yang akan menjadi calonnya pun sudah setuju, maka ditentukanlah hari acara penjemputan sesuai penanggalan Batak. Pihak pengantin laki-laki pun pada masa itu akan membawa dan menyediakan Gondang Sabangunan.
Hal itu merupakan adat Batak yang diyakini sebagai alat komunikasi, perantara doa kepada roh nenek moyang kedua belah pihak agar kedua mempelai nantinya direstui.
Acara Sipitu Gondang pun dimulai dari Gondang Mulamula sampai Gondang Sitiotio. Pada saat gondang berbunyi, tidak boleh ada keluarga yang menortori alunan gondang tersebut. Para keluarga cukup hanya berdoa dalam hati menyampaikan hasratnya masing-masing kepada sang Pencipta.
Pada saat perjalanan menuju rumah pengantin laki laki, gondang tadi pun terus menerus dibunyikan tiada hentinya. Hal inilah yang disebut kemudian dengan tradisi Mardoaldoal.
Setelah mereka sampai di rumah pengantin laki laki, kedua mempelai pun dipersilahkan untuk duduk di atas tikar (lage tiar)untuk diberi sejumput beras Sipirni Tondi oleh para keluarga yang hadir dalam acara tersebut ke kepala kedua mempelai.
Kemudian setelah itu, acara manortor bersama pun dari kedua belah pihak akan digelar. Yang bersaudara kakak beradik akan saling Marsiolopolopan. Pihak tulang pengantin pun akan menyodorkan/meletakkan ulosnya ke kepala kedua mempelai sebagai simbol Mamasumasu. Dan setelah acara manortor ini usai, barulah kemudian akan dilanjutkan dengan prosesi pemberkatan di gereja.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang