SAMOSIR – Pada perjalanan hidup nenek moyang orang Batak terdahulu, sudah dikenal adanya aturan yang sifatnya mengikat dan mempersatukan. Ada beberapa aturan yang langsung melekat kepada seseorang tanpa harus diajari, misalnya MARTUTUR.
Martutur biasanya dilakukan ketika kita jumpa dengan orang lain yang belum kita kenal sambil menyodorkan tangan seraya bertanya, “marga aha do tahe amang?”
Jika yang kita tanya punya marga, maka secara spontan orang itu akan langsung memberitahu marganya. Apabila marga orang tersebut sama dengan marga istri si penanya, maka respon balik dari si penanya akan mengucapakan “HULA HULA I DOHAMU”. Sebaliknya, jika yang orang yang ditanya sudah menikah dan marga istrinay sama dengan marga si penanya, maka respon dari penanya kakan mengucapkan PAMORUON NAMI DO HAMU.
Sering juga terjadi bertemu yang satu marga. Maka mereka akan mengurutkan tanggal lahir mereka atau menarik garis keturunan. Barang siapa yang duluan lahir itulah yang akan menjadi Siabangan (kakak), dan usianya lebih muda disebut Sianggian, dan jika yang ditemui adalah perempuan maka akan dipanggil dengan sebutan Ito.
Dalam tradisi partuturon yang dikenal sampai sekarang dalam budaya Batak ada beberapa sebutan. Misalnya, seseorang pria yang sudah berkeluarga akan memanggil ayah istrinya dengan sebutan SIMATUA DOLI (mertua laki–laki), ibu istri dipanggil dengan sebutan SIMATUA BORU (mertua perempuan). Lalu saudara istri yang laki-laki akan sebut dengan LAE (ipar).
Panggilan untuk adik perempuan ayah disebut NAMBORU (bibi). Panggilan untuk menantu perempuan disebut PARUMAEN, dan panggilan untuk menantu laki-laki disebut HELA. Antara Parumaen dan Hela dalam satu keluarga disebut dengan AMANG BAO.
Selanjutnya, anak Siangkangan (sulung) akan disebut anak Pultak Pagar, atau jika anak pertama adalah laki-laki, akan disebut dengan anak Buha Baju, sedangkan jika anak pertama yang lahir adalah perempuan akan disebut dengan Boru Buha Baju.
Cucu pertama dari anak pertama akan disebut Pahompu Siboan Goar. Anak ini, bagi Namboru (bibi) dan Amangboru (suami bibi) akan dipanggil dengan PARAMAN. Kemudian, ketika Pahompu (cucu) tadi nantinya menikah dan sudah punya anak, disebutlah anak itu dengan NINI dan jika garis keturunan setingkat ini datang dari perempuan disebutlah NONO. Lalu, keturunan dari nini maupun nono disebutlah itu MARONDOKONDOK.
Di zamannya, ada berapa pantangan dalam budaya Batak Toba yang lama kelamaan sudah mulai pudar, karena dianggap terlalu kaku: Simatua Doli (mertua laki-laki) tidak boleh berbincang dengan santai dengan Parumaen.
Sering kali pada masa itu harus ada batas atau perantaraan yaitu tiang atau dinding rumah sebagai jarak. Ketika duduk pun, tidak bisa berhadapan. Bahkan tidak boleh duduk di atas tikar yang sama, atau barisan ubin yang sama dengan parumaen.
Lain halnya antara mertua dengan Hela (menantu laki –laki), mereka bisa bicara tanpa pembatas yang harus dijaga. Demikian juga komunikasi antara Hela dengan Parumaen. Kedua orang ini, jika saling bicara harus dimulai dengan kalimat pengantar “Hamu inang “ dari Hela ke Parumaen atau Hamu amang” dari Parumaen ke Hela.
Kalimat pengantar ini sebagai penanda sopan santun, dan orang lain yang melihat dan mendengarkan sudah mengetahui status hubungan keluarga mereka. Demikian juga kepada saudara perempuan harus ada kata pengantar “HAMU”.
Sebutan kepada nenek dari pihak laki-laki disebut Oppu Suhut, nenek dari perempuan disebut Oppu Bao. Begitulah tradisi ini yang masih terjaga di lingkungan suku batak sampai sekarang. Jika kita bertemu atau berpapasan dengan lebih tua dari kita, wajib hukumnya harus memanggil sebutan Angkang jika laki-laki, Iboto jika perempuan. Dan jika di bawah umur kita kita harus memanggil Anggo kepadanya.
Begitulah aturan menyangkut komunikasi di antara sanak keluarga dalam budaya Batak Toba, sebagai penanda hubungan kekeluargaan atau menunjukkan etika dalam berkeluarga maupun bermasyarakat.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang