NINNA.ID – Batak itu pekerja keras. Tanah Batak berada pada bentangan Bukit Barisan. Secara alamiah tanahnya gersang. Karena itu konsentrasi penduduk ada di lembah-lembah, di mana orang dapat mengolah sawah dan ladang.
Jumlah rata-tara penduduk di tanah Batak sekitar 75 orang per km2. Hal ini termasuk tinggi bila dibandingkan dengan luasnya daerah tanah Batak yang tidak subur sementara penduduk tergantung pada pertanian.
Karena sebagian besar daerah ini tidak cocok untuk pertanian maka jumlah penduduk dibandingkan dengan daerah pertanian mencapai 759 orang per km2 (Eijkemans 1988:8; 1995:9).
Penduduk di daerah ini terutama hidup dari sawah dan ladang yang dikerjakan secara tradisional. Ekonomi masyarakat di tanah Batak masih pada tahap pertanian subsisten, artinya hasil pertanian hanya mencukupi kebutuhan sendiri.
Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Sumatera, kabupaten-kabupaten di tanah Batak termasuk kabupaten-kabupaten yang sangat miskin. Pendapatan Kabupaten Samosir per kapita masih dibawah pendapatan Propinsi dan Nasional per kapita (Barlow & Thee 1993:414).
Gambaran kemiskinan alam di atas, sementara keluarga Batak Toba termasuk keluarga besar, memaksa orang Batak Toba untuk bekerja keras. Hal ini merupakan mekanisme untuk bertahan hidup.
Kemungkinan lain ialah orang pergi merantau ke luar tanah Batak kalau sudah dewasa. Namun kerja keras sudah menjadi bagian diri mereka karena faktor alam yang miskin.
Faktor kerja keras ini dapat menjadi faktor penunjang untuk penguatan karakter bangsa yang kerja keras dan kreatif dalam hidup.
Penghargaan Tinggi akan Ilmu Pengetahuan
Salah satu sumbangan civilisasi Barat bagi orang Batak Toba ialah pendidikan, lewat institusi agama Kristen, baik Zending Protestan maupun Misi Katolik.
Orang Batak Toba menghargai sangat tinggi ilmu pengetahuan. Banyak orang muda pada umur sangat muda bermigrasi karena melanjutkan sekolah ke kota-kota besar, seperti Medan dan Jakarta.
Mereka sadar bahwa melalui pendidikan inilah akan terbuka masa depan yang lebih baik bagi mereka. Mereka mengatakan bahwa ‘cangkul emas’ adalah pena untuk meningkatkan taraf hidup (Rodenburg 1997:65; Nainggolan 1996).
Setiap orang tua Batak Toba akan berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya sedaya dia mampu. Mereka mempunyai filosofi hidup bahwa ‘anakkulah kekayaan utama bagiku’ (anakhonhi do hamoraon di au).
Mereka bekerja keras untuk dapat membayar sekolah anak-anaknya. Meskipun hidup mereka sangat sederhanan tetapi anak-anaknya tidak boleh tinggal di kampung. Anak-anak harus melanjutkan sekolahnya ke kota-kota besar.
Filsafat hidup di belakangnya ialah hidup anak harus lebih baik daripada hidup orangtua. Kalau anak berhasil maka masa tua mereka juga akan baik. Maka dari itu, anak harus sekolah (Wawancara dengan orang-orangtua di Pangururan, Samosir, tanggal 25 Juni 2012).
Penghargaan tinggi akan ilmu pengetahuan merupakan salah satu faktor kearifan lokal untuk melaksanakan fungsi yang baik dalam hal edukasi. Orang terpelajar akan mempunyai peluang lebih besar dalam penguatan karakter bangsa. (Tulisan ini akan kami sajikan bersambung setiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu)
Penulis : Pastor Moses Elias Situmorang (Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, P.Siantar-Sumut dan calon Peserta PPRA 63-64 Lemhannas RI)
Editor : Mahadi Sitanggang