Roh – Pancaran Jiwa Dalam Diri Orang Batak Toba (XI)

NINNA.ID – Selanjutnya pernah ada krisis akan “Sahala” Katolik di Tanah Batak, yaitu saat Jepang datang dan menahan para missionaris Katolik bahkan sebagian diusir (1942-1945).

Saat itu terjadi kebingungan, apalagi saat itu jiwa nasionalisme sedemikian merebak. Bersamaan dengan itu terjadi juga di tanah air suatu orde yang penuh dengan kemelut politik. Akan tetapi, ternyata dalam zaman yang kisruh, Katolisisme menawarkan sebentuk supra-nasionalisme, suatu prinsip teologis dengan slogan “Kristus Raja” (yang mengatasi para raja Batak dan melampaui nasionalisme sempit).

Perayaan Kristus Raja ini dirayakan secara besar-besaran di setiap Gereja Katolik hari Minggu terakhir pada bulan November. Momen krisis ini mampu diselamatkan oleh Katolisisme dengan memberi “sahala” keteguhan dari “Sang Kristus Raja” terhadap kegelisahan orang Batak.

Selanjutnya sejak kemerdekaan, muncul lagi tantangan. Saat itu keluar peraturan tegas dari Departemen Agama Republik Indonesia (mulai tahun 1950) yang menolak memberi visa bagi para missionaris Belanda (Ordo Kapusin/Fransiskan).

Maka dengan demikian menurut Budi Susanto “sahala” kembali harus menemukan wujudnya dalam gereja Katolik, namun kali ini tanpa pastor Belanda yang biasa disebut Bolanda Si Bontar Mata (orang Belanda yang punya mata putih).

Terjadilah ikhtiar mengupayakan “sahala” dalam gereja Katolik di kala proses pempribumian para imamnya berlangsung.

Di sini ada titik persimpangan yang rumit sebab sejak terjadi pempribumian, yakni orang Batak yang menjadi pemimpin/imam (malim) dalam gereja Katolik timbul suatu pertanyaan” Apakah pastor Batak yang tidak menikah ini bisa memberi “sahala”?

Namun secara cerdik sejarah menunjuk jalannya: sahala kini masih ada dalam gereja Katolik, yaitu sahala marhata. Kali ini gereja Katolik menemukan bahwa mereka tetap punya “jambar hata” (hak kepunyaan untuk bicara), suatu hak yang biasa dimiliki “hula-hula” (keluarga dari marga istri). Maka dengan ikhtiar dan programnya yang khas, gereja Katolik hendak bertindak dan berlagak sebagai hula-hula pemilik jambar hata.

Dalam masyarakat Batak ada pesona dalam setiap hata (kata) yang terluar, sebab (khususnya dalam acara adat yaitu dalam marhata) ia akan diiringi oleh umpasa dan umpama.

BERSPONSOR

Dalam umpama ada metafor atau ungkapan berpetuah, sementara dalam  umpasa ada pasu-pasu (berkat), demikianlah diyakini orang Batak.

TERKAIT  THR: Juru Selamat di Tengah Lesunya Belanja Masyarakat?

Dengan demikian hata mengandung efek bagi yang mendengar, ia bisa menjadi kuasa keberuntungan atau sumpah kebuntungan. Ada otoritas dalam setiap perkataan yang keluar bahkan dipercaya bahwa, perkataan itu sejak nenek moyang sudah sedemikian berkuasa. Dan Gereja Katolik berhasil membuat hata yang besar (metanarasi Alkitab) sebagai sumber kuasa yang baru.

Suatu kursus dan pelatihan dilaksanakan secara berkala untuk para pemimpin jemaat di stasi-stasi sejak tahuan 1980 dengan thema “Cita dan Cerita.”

Pusat kursus ini ada di Pusat Pembinaan Umat di Pematang Siantar. Direktur dari PPU pertama adalah P.Raphael  Hutabarat OFMCap alumni master pastoral dari Manila, kemudian pastor Paulinus Mardame OFMCap master pendidikan dari Boston College Washinton, P.Kleopas van Laarhoven OFMCap, P.Oktavianus Situngkir OFMCap.

- Advertisement -

Secara maraton dan teratur mereka melatih pemuka jemaat agar memasukkan dirinya ke dalam “kata/hata yang besar” yaitu narasi Alkitab.(Tulisan ini akan kami sajikan bersambung setiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu)

 

Penulis Pastor Moses Elias Situmorang (Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, P.Siantar-Sumut dan calon Peserta PPRA 63-64 Lemhannas RI)
Editor     : Mahadi Sitanggang

 

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU