NINNA.ID – Di Tanah Batak Toba Utara pun masuklah Zending Barmen Jerman sekitar tahun 1864 yang dibawa oleh Nommensen. Di Huta Dame lembah Silindung beberapa orang Batak menjadi Kristen.
Nommensen mulai mengajari mereka tentang kesehatan seperti menjerang air (karena dulu orang Batak biasanya meminum air tanda rebusan), mencuci pakaian, dan membuat WC. Karena itu ketika banyak orang mati di Silindung sewaktu terjadi muntaber akibat peristiwa bumi hangus yang dilakukan Padri, Jemaat Nommensen di huta Dame tetap sehat walafiat.
Melihat itu, semua orang Batak Toba di Slindung menjadi kagum. Mereka percaya Tuhan yang teratas, Tuhan yang sesungguhnyalah Tuhan yang disembah Nommensen.
Raja-raja huta menjadi berlomba-lomba masuk memeluk Kristen seperti Raja Jacobus Lumban Tobing dan Raja Pontas Lumban Tobing. Kharisma para zendeling para zendeling itu semakin besar dan semakin bertambah orang masuk menjadi Kristen.
Pada tahun 1890 Belanda memperkenalkan kepada orang Batak Toba sistem pemerintahan afdeeling (kabupaten) yang baru di tanah Batak Utara. Dibentuk pula perangkat (pemerintahan) terendah dalam kerajaan Belanda tetapi menjadi kekuasaan tertinggi yang dikenal orang Batak, sejak mereka eksodus dari Raja Tomyam.
Waktu itu perintis (pendiri) yang dikenal, orang Batak di sekitar Danau Toba. Jadi kalau mengikuti pemahaman kekuasaan menurut Batak Toba, perintis kampung itulah mestinya menjadi raja yang baru di bawah Belanda.
Ada sekitar 8000 (delapan ribu) raja kampung di Tanah Batak Utara pada masa pemerintahan Belanda menurut catatan Lance Castles menurut catatan Residen Tapanuli, V.E.Korn, 1938. Karena begitu banyaknya maka Belanda kemudian mengelompokkan menjadi satu hundulan (kampung), dan para raja huta tersebut memilih salah satu dari mereka menjadi Raja Panutan (raja ihutan) dan tidak lama kemudian kelompok dusun yang bernama hundulan itu diubah menjadi hampung (kampung) dan negeri. Penguasanya dinamai hapala hampung atau hapala negeri (kepala kampung atau kepala negeri).
Sahala Terungkap dalam Adat
“Sinuan bulu sibaen na las, ni ula adat sibahen na horas,”(mestinya pelaksanaan adat itu demi harmoni kehidupan). Sebaliknya, perihal adat perlu ada saringan, untuk menepis mana adat yang harus dilestarikan, mana yang ditinggalkan.
Saringan itu adalah adat yang bermuatan kasih dan adat yang meneguhkan kuasa Tuhan sebagai sumber sahala sejati. Melaksanakan hajatan (adat) haruslah bermuatan kasih jangan sampai menimbulkan keributan dan apalagi perpisahan. Karena itu, adat yang berwujud hanya sebagai formalitas atau karena kewajiban saja harus ditinggalkan.
Begitu juga halnya adat yang mengatakan bahwa orangtua dan paman (tulang) adalah Tuhan yang tampak mestinya juga dikritisi karena menurut Markus 7:13 “Dengan demikian firman Tuhan kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti..”
Sering adat yang dijalani orang Batak menjadi sangat bertele-tele dan centang-perenang karena banyak terkontaminasi oleh unsur-unsur yang sebetulnya bukan adat seperti misalnya komuni pertama, pembabtisan, lepas sidi, dapat gelar dan juga karena menang perkara.
Hilangnya makna adat karena banyak orang Batak sendiri yang kurang berupaya untuk memahaminya. Untuk itu sebenarnya, perlu memilih juara-wicara (raja parsinabul) yang cerdas dalam upacara adat, sebab hanya orang seperti itulah yang mampu meredam masalah-masalah adat yang timbul dan tidak bermakna.
Seperti misalnya terkait dengan adat pemberian ulos herbang (ulos yang bermakna wajib) dan ulos holong (ulos pelengkap) yang sering jumlahnya berjubel. Menurut adat yang sesungguhnya hanya empat ulos yang bermakna wajib yaitu ulos passamot, hela, pamarai, dan sihunti ampang. Sekiranya pun ada ulos tambahan, seperti yang pernah dipatok oleh beberapa marga janganlah lebih dari 11 lembar.(Tulisan ini akan kami sajikan bersambung setiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu)
Penulis : Pastor Moses Elias Situmorang (Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, P.Siantar-Sumut dan calon Peserta PPRA 63-64 Lemhannas RI)
Editor : Mahadi Sitanggang