NINNA.ID – Norma dan hukum (partondion) adat Batak Toba begitu mendalam. Namun partondion dalam dunia orang Batak Toba semakin berubah terutama setelah masuknya kekuasaan asing.
Dari tahun 1500-an sampai 1820-an tidak banyak yang diketahui tentang Batak Toba. Dalam buku “Report a Journaya into The Batak Country in the Interior of Royal Asiatic Society” (Transanction of the Royal Asiatic Society I, 1827) dilukiskan bahwa banyak penghuni lembah bukit Barisan kelihatan hidupnya berkecukupan.
Tidak kurang 5000 orang menyambut mereka dan semua berperangai lembut dan tertib. Dapat diduga dari kisah ini bisa jadi sudah makmur kehidupan orang Batak di sekitar Danau Toba kendati tidak ada seorang raja yang berwibawa dan berkuasa penuh dan memerintah mereka.
Kenyataan ini diterima para sarjana peneliti Batak Toba seperti dikatakan oleh Lance Castle dalam disertasinya, “The Political life of Sumateran Residency: Tapanuli, 1915-1940. Disertasi ini ditulis tahun 1972 dan penelitian fokus pada kehidupan orang Batak Toba.
Hidup yang makmur tanpa ada satu raja yang melindungi dan memerintah rupanya sempat menimbulkan arogansi dan tinggi hati bagi orang Batak Toba, karena setiap orang Batak Toba menganggap dirinya raja, sebab mereka tidak lagi mengenal ragam kekuasaan dunia ini. Mereka berpikir langit tanah Batak adalah langit yang tertinggi karena tidak ada pembanding, tidak seperti pengalaman orang Aceh, Jawa, Melayu dan Minangkabau.
Segala ‘partondion tadi mungkin rusak tidak lama setelah kedatangan R.Burton dan N.Ward. Berawal dari perang Padri mengusir Mandailing kira-kira tahun 1824. Raja Gadombang dari Mandailing meminta tolong kepada Belanda melawan Padri, terjadilah perang selama 1830-an.
Belanda mengalahkan Padri di Padang Bolak tahun 1838 (Tuanku Tambuse). Sejak itu menjadi terpacaklah kekuasaan Belanda di Tanah Batak (1843).
Akibat dari perang ini terhadap kejiwaan orang Batak akhirnya menjadi mali tondi menghadapi keadaan masa itu. Yang merasa sudah mempunyai langit tertinggi merasa menjadi pecundang (hilang kepercayaan diri).
Orang Batak di Selatan tidak bisa menerima diri menjadi pecundang mereka berperinsip lebih baik bergabung dengan pemenang karena itulah mereka yang dari Selatan bersama-sama memerangi kerabat mereka orang Batak Toba sendiri yang ada di Utara sampai Bakkara dan membunuh Sisingamangaraja X.
Bukan hanya itu, orang Batak dari Selatan menjadi malu menjadi orang Batak Toba terlebih yang berasal dari Mandailing, mereka mengaku keturunan Iskandar Zulkarnain, bukan lagi si Raja Batak. Adat pun dicampakkan dan Belanda mendukung tindakan tersebut.(Tulisan ini akan kami sajikan bersambung setiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu)
Penulis : Pastor Moses Elias Situmorang (Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, P.Siantar-Sumut dan calon Peserta PPRA 63-64 Lemhannas RI)
Editor : Mahadi Sitanggang