NINNA.ID – Kalau ditilik dari nama, “BATAK”, sepertinya cukup banyak dipakai oleh para peneliti, para sarjana mengenai adat, hukum adat Batak Toba. Namun kalau ditelusuri, bahwasanya Batak Toba tetap memelihara adat, hukum, dan keyakinan yang diciptakan oleh nenek moyang mereka yakni ketika kerajaan Tomyam belum menganut Islam. Seperti sudah dibahas oleh cerdik-cendikia, Dalihan Na Tolu (Tiga tungku perapian), Tondi – sahala (Roh –Pancaran Roh), dan Tuhan Tri Tunggal (Debata na Tolu).
Orang Batak yang sebelumnya memiliki raja dalam kerajaan Tomyam melangkah mengikuti nalurinya merengkuh kehidupan yang lebih baik, yang meninggalkan kejayaan dari rajanya sendiri.
Mereka tidak lagi bersandar pada kekuasaan Raja Tomyam yang mereka tinggalkan itu.
Sekiranya ada di antara mereka berniat menjadi raja tentu dengan mendapat tantangan dari sesama mereka sendiri yang baru hijrah (eksodus), karena mereka tentunya tidak mau lagi menderita seperti halnya di bawah kekuasaan Tomyam. Tetapi bagaimana mereka mengatur hidup kalau tidak memiliki raja? Jawabnya, kalau tidak ada raja maka mesti ada norma yang mengatur agar dapat hidup layaknya sebuah komunitas sebagai satu masyarakat.
Norma itu nampak jelas dari doa-doa ahli pemujaan (parbaringin), yang juga berfungsi sebagai norma (hukum). Julukan bagi parbaringin disebut dengan: Parhatian si bola timbang, parmahan so marbatahi. Pamuro so marumbalang, parmahan so marbatahi (perilaku adil, tulus, tidak memihak, akan dipatuhi sekalipun tidak menggunakan senjata).
Makna dari rapalan doa sekaligus sebagai norma ini: hendaknya setiap orang Batak bersikap adil dan imparsial (songon hatian na so ra teleng, na satimbang). Hatinya harus lurus layaknya seperti mata bajak membelah tali.
Harus bisa terjamin padi tidak dimakan burung sekalipun tidak dijaga, ternak aman di ladang sekalipun tanpa alat lecut. Artinya hidup berjalan aman dan tertib, bukan karena kuasa kerajaan (umbalang, botahi), melainkan semata-mata karena ada norma.
Jadi Roh (sahala adalah kekuatan yang tampak dari Roh) kehidupan Batak adalah adil, jujur, dan belas kasih. Dari Partondion seperti itulah muncul sahala yakni kekuatan dengan kuasa mengarungi kehidupan yang lebih baik di setiap bidang.
Norma tondi tampak sangat jelas dalam falsafat Dalihan Na Tolu (tiga tungku perapian). Adil terhadap dongan tubu (kerabat semarga), tigor (jujur dan hormat) pada hula-hula (kerabat marga istri/ibu), dan welas kasih terhadap gelleng (kerabat yang mengawini anak prempuan).
Dengan ini tidak ada lagi seseorang yang menjadi raja yang berkuasa, berwibawa terus-menerus. Setiap orang menjadi memiliki kuasa dan wibawa. Agar bisa berlangsung situasi seperti itu, perbuatanlah yang menjadi tumpuan dari kewibawaan dan kejumawaan itu, bukan lagi takdir, bukan pula nama besar (gelar, harta, jabatan dan pangkat).
Agar kondisi itu tampak dalam kehidupan sehari-hari, lahirlah adat Dalihan Na Tolu yang membenarkan silih ganti posisi pada segenap orang Batak selaku dongan tubu, hula-hula, atau boru, supaya silih berganti pula mendapat sahala.
Brangkali itu sebabnya lahir ungkapan: “Sisoli-soli do adat, sidadap ari gogo (memberi dan menerima adat silih berganti, membantu dan dibantu adalah keseharian). Jadi prinsip Dalihan Na Tolu adalah silih berganti bukan quid pro quo (kau beri maka saya kasih) seperti dipraktekkan orang jaman sekarang.(Tulisan ini akan kami sajikan bersambung setiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu)