NINNA.ID – Terkait dengan upacara Paulak une dohot maningkir tangga (upacara simbolis, pengganti) mengunjungi rumah pengantin oleh pihak keluarga perempuan, boleh dilaksanakan boleh tidak tergantung kesepakatan kedua pihak atau fakultatif sifatnya. Kalau hak dan kewajiban pokok pesta adat itu sudah dilengkapi, pihak pengantin pria maupun prempuan sudah melunasi hutang adatnya, selebebihnya hanya embel-embel.
Kurangnya masyarakat Batak untuk menggali nilai-nilai luhur dalam setiap upacara adat Batak itu sendiri, sering terjadi silang pendapat dan justru menjadi penyebab semerawutnya pelaksanaan adat. Perlu pemahaman yang mendalam agar pelaksanaan adat Batak itu tidak jadi semerawut dan akhirnya kehilangan makna. Perlu penelusuran nilai dasar dalam adat agar maknanya tetap hidup dan membantu orang untuk melihat sahala di dalam adat.
Orang Batak sendiri percaya ada hukum di atas adat, dan ada kepercayaan, keimanan, atau falsafah itu sering digambarkan Panggading, Raja Pandua ni Sisoding (Simamora) kepada J.C.Vergeouwen (The Social Organization and the Customary Laws of the Batak of Northen Sumatra) : “Tuhan mencipta manusia memelihara hukum. Tuhan mencipta hukum memelihara adat.”
Merujuk pada ungkapan ini, berarti di atas adat ada hukum dan di atas hukum ada kepercayaan manusia atau falsafah orang Batak Toba.
Nenek orang Batak sudah memiliki paham yang kuat bahwa kalau ada masalah di hilir, cari penyebabnya ke hulu, kalau ada fenomena masalah di permukaan cari pangkal masalahnya. Kalau terjadi kekusutan pada adat maka telusuri penyebabnya pada hukum dan kepercayaan, keimanan atau falsafah itu.
Menurut Vergouwen yang meneliti dengan mendalam hukum adat orang Batak, hukum utama di Batak Toba ialah “tata adat yang dicipta dan keluhuran budi dari nenek moyang terdahulu, itulah yang bersifat penuh, bulat, utuh, pantang untuk diubah (angka adat na pinungka dohot sahala ni ompungta sijolo-jolo tubu, ima tutu namartagan sopiltihon, maransimun sobolaon; adat na pinungka ni ompungta tongka paubaubaon).
Karena itu, sekalipun belum dapat diketahui proses lahir dan pertumbuhan dari adat ciptaan itu, tetapi bagi kita cukup jelas ada titian yang diwariskan berupa pepatah-pepatah (umpasa) yang berperan membungkus makna sesungguhnya dari hukum itu.
Hanya memang, sering banyak sekali umpasa yang tidak begitu mudah diharmonikan pemaknaannya. Sekalipun hukum yang diciptakan nenek moyang itu pantang untuk diubah-ubah, tetapi orang Batak Toba tampaknya punya kelenturan sikap untuk menerima perubahan itu, terganting kondisi geografisnya.
Karena itu pepatah mengatakan pemberlakukan hukum itu sesuai dengan tempatnya (muba tano, muba duhutna, muba laut, muba uhumna). Dikatakan pula di mana kita tinggal disitu kita menggunakan takaran setempat (tano niinganan, disi solup pinarsuhathon). Jadi kelenturan penerapan hukum itu dipengaruhi oleh kondisi wilayah, komunitas, perserikatan kekerabatan.(Tulisan ini akan kami sajikan bersambung setiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu)
Penulis : Pastor Moses Elias Situmorang (Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, P.Siantar-Sumut dan calon Peserta PPRA 63-64 Lemhannas RI)
Editor : Mahadi Sitanggang