RKUHP Disahkan DPR, Sejumlah Pasal Berpotensi Karet dan Mengekang Jurnalis

NINNA.ID  – Hari ini RKUHP disahkan DPR UU. KUHP baru itu akan mengalami masa transisi 3 tahun dan berlaku efektif pada 2025. Namun masih ada yang menilai pasal dalam RKUHP bisa berpotensi karet.

“Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat disahkan menjadi undang-undang?” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di DPR, Selasa (6/12/2022).

“Setuju,” jawab peserta rapat paripurna DPR RI.

Ketua YLBHI M Isnur menyatakan RKUHP banyak berpotensi menjadi pasal karet.

“Iya potensial, dia akan masuk ke ranah privat, potensial akan mengganggu hal seperti ini dalam demokrasi, potensial akan mengganggu kerja-kerja jurnalistik ke depan, potensial akan mengganggu orang-orang yang punya niat baik dengan pemahaman keagamaan atau pemikirannya untuk menyebarkan, potensial sekali,” papar Isnur.

AJI Kota Medan Tolak Pengesahan RKUHP, Berpotensi Mengekang Kerja Jurnalis

Sebelumnya di Medan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Medan melakukan aksi unjuk rasa menolak RKHUP disahkan.

Aksi unjuk rasa tersebut berlangsung di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di Bundaran Majestik, Kota Medan pada Senin (5/12/2022).

BERSPONSOR

Dalam rancangan RKUHP, AJI Kota Medan menyoroti ada sejumlah pasal yang dianggap mengekang kerja jurnalis jika RKUHP disahkan pemerintah.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Medan, Cristison Sondang Pane mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah berencana akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam waktu dekat.

Padahal, pasal-pasal di dalam rancangan tersebut masih banyak bermasalah, termasuk bagi komunitas pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, bahwa terdapat sejumlah pasal yang tidak berpihak pada kerja-kerja jurnalis, termasuk di antaranya pasal 263 RKUHP tentang Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.

- Advertisement -

“Di mana isi dari pasal tersebut menyebut setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Lalu, setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.l,” tegasnya.

TERKAIT  Kebijakan Baru Twitter, Hapus Centang Biru Akun Verified seperti Milik Paus Fransiskus dan Tokoh lainnya

Tak hanya menyoroti pasal 263, sambungnya, pasal lain yang turut menjadi permasalahan yakni, pasal Pasal 264.

“Jika kita lihat isinya yakni, setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III,” ungkapnya.

Dalam hal ini, lanjutnya, AJI menilai pasal ini harus diuji dengan mekanisme khusus hukum pers, terutama dengan memanfaatkan hak jawab dan hak koreksi (sesuai dengan standar dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).

Karena bila ini diterapkan oleh penegak hukum justru akan berdampak pada kebebasan pers.

Lalu, pasal 280 tentang tindak pidana terhadap proses peradilan.

Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung.

Adapun poin yang disoroti yakni,
A. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.

B. bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim.

C. menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan; atau.

D. tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung.

“Pada prakteknya, kerja jurnalistik seringkali dibatasi untuk melakukan liputan-liputan kasus yang seharusnya terbuka untuk umum atau publik. Upaya mengambil gambar, atau merekam, justru mendapat pengusiran-pengusiran, tanpa dasar yang jelas,” bebernya.

Selain terhadap jurnalis, sambung Ketua AJI Kota Medan, pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP berpotensi berdampak pada masyarakat luas.

Adapun tuntutan aksi unjuk rasa yang dilakukan AJI Kota Medan yakni;

1. Menuntut DPR dan Pemerintah mencabut 17 pasal bermasalah di dalam Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi mengekang kerja-kerja jurnalistik dan mengkriminalisasi jurnalis

2. Tunda pengesahan Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena DPR dan Pemerintah tidak memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi publik, termasuk komunitas pers.

Editor : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU