SAMOSIR – Acara penyampaian Hoda Debata, sering disebut dengan julukan Hoda Somba. Yang artinya penyerahan Pelean Namangolu (kurban hidup) kepada Sang Khalik yang paling tinggi di daerah Tanah Batak kala itu.
Tata caranya benar benar mengajak kita agar menuangkan segala hasrat dan pikiran kita kepada Sang khalik pencipta Alam semesta serta isinya.
Prosesnya dimulai dari penebangana pohon, Marlaning Laning, Sungkun Saripe, Galang Raja hingga Manguras Hoda (kuda betina).
Dalam pelaksanaannya mengharuskan seorang ibu menggendong Kamsung satu di kiri satu di kanan yang berisikan Tuak Takkasan (air nira) diikat dengan ulos Batak Surisuri Ganjang pada saat Manguras Hoda. Semuanya ini dilakukan agar Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan mereka satu rumpun.
Kini tibalah saatnya penyerahan kurban, yaitu anak kuda yang telah diuras beberapa tahun yang lalu. Acara dimulai dari malam hari dengan menghadirkan seperangkat Gondang Sabangunan sebagai isyarat penyampai lantunan Tongotongo kepada Mulajadi Nabolon.
Sudah suatu keharusan setiap memulai acara Gondang, terlebih dahulu diserahkan Boras Santi, untuk memulai dialog antara Hasuhuton dengan Bataraguru Humundul (Pargonsi – penabung gendang). Biasanya, jika Pargonsi telah mapan di bidangnya, akan menanyakan Santi tersebut.
Panggual Pargonsi menyampaikan maksud dan tujuan Hasuhuton kepada Mulajadi Nabolon. Dilanjutkan dengan totor para abang beradik serta sesepuh yang hadir di acara tersebut. Acara juga diserahkan kepada nenek dari abang adik Namarhaha Maranggi yang disebut Pangolopion. Tidak ketinggalan pula marga boru ambil andil dalam acara itu, yang disebut Manomba Hulahula.
Peran hulahula di acara itu sangat pentng sebagai penyampai berkat. Jika dikaitkan dengan Dalihan Natolu sangat erat hubungannya dengan Bonang Manalu (benang tiga warna) dan Ramban Sitolubolit.
Acara dilanjutkan di pagi hari dengan menugasi Boru Sihabolonan untuk mengambil pelepah pohon aren dan kayu bulat untuk ditancapkan di Pogu Ni Alaman (tengah-tengah halaman), sebagai tambatan Kuda yang akan di kurbankan.
Untuk melobangi tempat Borotan (tonggak kayu tambatan) kuda, yang disebut Manombuk Alaman, juga punya tata cara sendiri. Hasuhuton memberi beras Santi kepada nereka yang abang-adik sesuai dengan kebiasaan mereka.
Hasuhuton berbaris di depan rumahnya untuk menyaksikan langka kuda pelean. Kuda di bawa petugas dari kolong rumah dengan mulut dirantai, diiringi alunan Gondang Parsiarabu (gendang syahdu).
Mulut kuda di rantai berarti, bahwa kuda tersebut akan disembelih untuk dibagi-bagi ke Raja Bius. Kuda lalu diikat di Borotan. Ketika kuda berhenti dengan kaki kanan posisi di depan, Hasuhuton akan bergembira ria. Mereka menari melompat-lompat sambil meneriakkan kata “Horas”.
Acara manortor dilakukan seperti acara di dalam rumah dari Hasuhuton oleh tutur abang-adik, sesepuh, pihak boru dan pihak Hulahula. Ketika sudah sore, kuda tersebut diikat dan disembelih dengan cara menusukkan pisau belati ke arah jantung kuda. Ketika kuda dipastikan sudah mati, akan dibiarkan satu malam di sana.
Ke esokan harinya Kuda tersebut dibagi-bagi kepada yang memiliki kaitan dengan acara tersebut. Bagian kaki kanan ke Raja Bius, kaki Kiri untuk Datu, kaki belakang sebelah kanan untuk Hasuhuton, kaki sebelah kiri untuk Pargonsi. Sedangkan leher untuk Hulahula, kepala untuk Sipitudai untuk santapan Hasuhuton.(*)
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang