NINNA.ID-Pegiat literasi dan budaya dari Humbang Hasundutan, Riduan Situmorang, mendapatkan bantuan fasilitasi dari BPK Wilayah 2. Fasilitasi itu berupa dokumentasi rekonstruksi ritual Manghontas. Riduan Situmorang memang terobsesi untuk menjaga ingatan tentang haminjon.
Tahun lalu, Riduan Situmorang telah mendapatkan fasilitasi dari Kemendikbud untuk membuat film animasi tentang haminjon juga. Bagi Riduan, haminjon menjadi ingatan tak terlupakan. “Sejak SD hingga kuliah, saya sering marhaminjon,” sebutnya pada Ninna.id.
Semua ingatan tersebut sudah dituangkannya dalam berbagai esai, puisi, juga karya semi-ilmiah melalui majalah Haba, asuhan BPNB Aceh sebelum berubah menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK). “Haminjon ini sebenarnya penuh sejarah kental,” ucap Riduan.
Sebagaimana diketahui, haminjon adalah rempah tua endemik Tapanuli bersama dengan kapur barus. kapur barus dan kemenyan sampai ke Eropa dan Mesir. Lebih detailnya, pada masa silam—diprediksi mulai terjadi 2500 sebelum Masehi (temuan Tumanggor, 2017; 2019).
Komoditas unggulan Nusantara ini diperdagangkan dengan bangsa Cina, Eropa, dan Arab. Jaringan perdagangan ini kemudian melahirkan pengayaan dan pembauran budaya. Pembauran itu dapat dilacak pada mantra-mantra pengobatan orang Batak.
Rupanya, berbagai mantra tersebut mengadopsi semua bahasa keagamaan yang masuk melalui jalur perdagangan. Mulai dari agama Hindu, Kong Hu Chu, Islam, Kristen, bahkan Yahudi. Dari bahasa agama Ru sebagai cikal-bakal agama Kong Hu Cu, misalnya, ada mantra unik.
Bunyi mantra itu adalah: hong, ulosi aha on songon Tumbaga Huling, palua sahitna, hipashon imana. Mantra itu diawali dengan bahasa Ru dan dilanjutkan dengan bahasa Batak. Kurang lebih artinya demikian: Hong, sematkan ulos ini seperti Tumbaga Huling, lepaskan penyakitnya, sembuhkan tubuhnya.
Pada kegiatan rekonstruksi ritual tersebut, turut hadir 3 petani haminjon. Memang, ritual Manghontas sudah jarang dilakukan. “Terakhir sekitar 15 tahun lalu,” kata Marsellus ketika ditanya tentang manghontas. Menurut Marsellus, petani kemenyan sudah mulai ogah melakukan ritual.
Padahal, kata petani, hasil panen lebih banyak ketika ritual dilakukan. “Oh, jauh lebih banyak kalau ada ritual. Saya ingat sekali itu,” sambungnya. Sementara itu, menurut petani muda, ritual ini tak dilakukan lagi karena ragu. “Ragu, tak ada orang yang melakukan,” ujar Dennis dan Filder Situmorang.
Sementara itu, menurut Riduan Situmorang, ritual ini hanya upacara. “Ritual tersebut hanya upacara ketulusan hati. Ketika tulus, tentu hasil panen pun bisa lebih banyak. Jadi, ritual tersebut bukan magis, apalagi gaib,” sambungnya. Hal ini dicontohkannya dengan musik klasik.
“Tumbuhan akan bertumbuh baik jika dirawat dengan tulus. Seperti musik dan doa-doa. Sudah dibuktikan dalam banyak penelitian,” terang Riduan. Riduan berterima kasih pada BPK Wilayah 2 Medan. Dia berharap, kegiatan seperti ini dieksplorasi lebih banyak.
Riduan juga berterima kasih pada Disparpora Humbang Hasundutan yang telah memberikan dukungan pada Riduan Situmorang. Riduan berharap, petani kemenyan harus diperhatikan berikut dengan ritusnya, terutama petani muda. “Mereka menjadi pengekal ingatan kita,” tutupnya.