SAMOSIR – Salah satu lagu wajib nasional Indonesia, karya Ismail Marzuki ‘Rayuan Pulau Kelapa” sudah tak asing di telinga kita. Syahdu terdengar menggambarkan keindahan dan kekayaan alam negeri. Tak perlu diragukan, sang komponis, 100 persen terinspirasi dari fakta kekayaan alam Indonesia.
Meminjam nada lagu itu, keindahan dan kesuburan Lembah Sagala di Kecamatan Sianjurmulamula Kabupaten Samosir, juga tergambar sesuai faktnya.
Yuk kita bermain kata-kata dengan mengubah lirik lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa” menjadi ‘Rayuan Lembah Sagala’. Akan terasa, Lembah Sagala ini ikut mewakili kesuburan dan keindahan negeri kita yang Gema Ripah Loh Jinawi.
Rayuan Lembah Sagala
Tanah airku Lembah Sagala, Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Lembah Sagala yang amat subur
Pusuk Buhit pujaan bangso
Sejak dulu kala
Reff:
Menari-nari, Air Terjun di Bukit
Berbisik bisik, Si Raja Batak
Memuja Gunung, Nan Sakral Sakti
Lembah Sagala, Indonesia

Lembah ini memang indah dan terkenal sebagai salah satu tempat yang subur, dengan lahan persawahannya. Potensi alamnya persis seperti syair lagu itu. Elok.
Keelokan lembah ini, semakin didukung oleh sejarah budaya yang dipercaya orang Batak Toba sebagai asal muasal orang Batak, dan tempat kelahiran Si Raja Batak.
Panorama persawahan dengan tampilan perbukitan dan Danau Toba tak bosan untuk dipandang, apalagi bila dilihat dari ketinggian. Salah satu spot paling tepat untuk menyaksikan keindahan Lembah Sagala adalah dari situs sejarah budaya Parsaktian Guru Tatea Bulan yang berada tepat di atasnya.

Desa Sagala sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu desa di Kecamatan Sianjur yang paling subur terutama dengan tanaman padinya. Areal persawahannya cukup luas dibanding desa tetangganya. Ketersediaan air juga cukup karena sejumlah air terjun kecil yang mengalir dari perbukitan.
Desa ini dikenal penuh kisah sejarah dalam budaya Batak. Tempat diduga sebagai kampung awal orang Batak. Balai Arkeologi Sumut saat melakukan penggalian arkeologis di sekitar desa ini, menemukan sisa-sisa kampung Batak yang diduga berusia ribuan tahun.
Tidak perlu membayar untuk menikmati keindahan dan kesuburan tanah di lembah ini. Namun sebagai petualang atau wisatawan, diperlukan tanggungjawab bersama menjaga alam.
Di sinilah hukum para petualang berlaku. “Take Nothing, but picture. Leave nothing, but foot print. Kill nothing, but time”.
Bro dan sista harus tetap menjaga keberlangsungan alam dengan tidak membuang sampah dan dengan tidak merusak tanaman yang ada di sekitar spot pemandangan tersebut.
Rayuan Lembah Sagala pantas untuk diikuti. Rayuan ini bukan rayuan maut, tapi rayuan untuk mendapatkan tempat wisata berkelas dan menambah wawasan tentang sejarah orang Batak.
Penulis : Ananda Josua Siburian
Editor : Mahadi Sitanggang