NINNA.ID-Di Bakkara, ada sebuah situs. Namanya Piramida dari Toba. Supaya menarik, dibuat Pyramid of Toba. Itu bahasa bombastisnya. Di dunia serba digital, kita butuh sensasi. Itu pemantik. Soal benar atau tidak, belakangan. Kalau untuk benar, kita bisa lunak.
Tak perlu membuat istilah berlebihan. Piramida. Atau, Pyramid of Toba. Padahal, setelah dilihat, ternyata bukan. Hanya dinding kampung. Mungkin perladangan. Atau terasering. Lahan miring, disusun bertingkat. Bertahun-tahun. Berpuluh tahun.
Lalu, batu menyatu dengan tanah. Mulai terstruktur. Rumput tumbuh. Pohon juga. Terasering makin kokoh. Maka, terlihat seperti piramid. Bukan Piramida seperti yang kita bayangkan. Ini Piramida setengah. Di sebelahnya, sudah dinding bukit.
Begitupun, perlu untuk dilihat. Mengapa harus ke bukit. Apakah itu perkampungan? Jika perkampungan, bisa jadi. Orang dulu selalu suka di pinggang bukit. Yang jadi pertanyaan, kalau itu ladang. Mengapa berladang di pinggang bukit. Toh, ada dataran rendah.
Begitulah. Nama sudah dibuat. Pyramid of Toba. Saat saya tulis ini, saya di Medan. Ada festival literasi. Saya membawa Sanggar Maduma. Saya tunjukkan foto itu kepada teman pegiat literasi. Saya tak tahu dia pura-pura antusias. Dia bertanya banyak hal.
Dari gambar, ia seolah percaya. Mungkin karena slidenya dicampur. Atau lebih estetik. Tapi memang, susunan batunya teratur. Tersistematis. Dimulai dari benteng kampung. Disusun dari batu. Lalu, dibuat bertingkat. Dibuat bertingkat lagi. Menyerupai Piramida.
Satu yang harus dipuji. Masyarakat saat itu rupanya sudah cerdas. Mereka sudah bisa menyusun batu. Hingga ke atas. Mulai dari dataran landai hingga lewat pinggang bukit. Untuk apa mereka membuat itu? Apa tak ada tempat lain? Itu pertanyaan teman.
Ada benarnya pertanyaan itu. Jika untuk perkampungan, mengapa tidak di tempat lain? Mengapa harus di situ? Apa Bakkara terlalu sempit? Saya masih melihat dari jauh. Belum terjun ke sana. Ada rasa penasaran. Melihat dan merasakan lebih dalam. Mungkin saya tertinggal.
Sebab, begitu hakikat manusia. Karena terlalu sering melihat, kita bersikap biasa. Tak ada yang istimewa. Begitu orang asing melihat. Ada perubahan. Yang biasa jadi menarik. Termasuk terasering ini. Dulu kita pikir gejala alam. Baru, kita lihat sebagai perkampungan.
Hingga muncul nama baru: Pyramid of Toba. Kita jadi penasaran. Kadang merasa ganjil. Lantas bertanya dalam hati: kok bisa? Nama sudah diberikan. Sebagai pemantik. Menarik untuk melanjutkan. Melanjutkan kekonyolan ini. Atau, melanjutkan perjalanan lain.
Jika Anda penasaran, datanglah ke Bakkara. Andalah yang memutuskan. Ini terasering atau memang Piramida? Mengapa harus disebut namanya Pyramid of Toba? Apakah ada sesuatu yang ingin dicari? Atau bahkan dicuri dari sana? Biar alam yang menjawab.
Penulis: Riduan Situmorang
Editor: Damayanti Sinaga