NINNA.ID-Di balik ketenangan air Danau Toba yang legendaris, lahir para pemikir besar yang kini mengabdikan ilmunya bukan di menara gading, tetapi di tengah denyut nadi ekonomi rakyat: koperasi.
Salah satunya adalah Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, seorang putra daerah yang kini menjelma menjadi salah satu motor penggerak koperasi modern di Indonesia.
Pada Seminar Nasional di Universitas Borobudur Jakarta, Senin 28 April 2025, Prof. Murpin berdiri di podium, bukan hanya sebagai akademisi, tetapi sebagai pejuang.
Ia membawa gagasan yang melampaui tataran teori: membangun ekosistem koperasi unggul melalui kolaborasi desa, akademisi, dan negara.
Dari Desa untuk Indonesia
“Revitalisasi koperasi harus dimulai dari desa,” tegas Prof. Murpin di hadapan para profesor dari seluruh Indonesia, tokoh-tokoh koperasi, dan pemimpin akademik nasional.
Bagi dia, desa bukanlah entitas yang tertinggal, melainkan fondasi kekuatan ekonomi yang kerap diabaikan.
Indonesia memiliki ribuan desa dengan kekayaan sumber daya lokal yang melimpah: kopi, kelapa, kemiri, tenun, ikan, dan rempah-rempah.
Namun, semua potensi itu belum sepenuhnya terorganisir dalam sistem ekonomi yang kuat dan adil. Di sinilah koperasi seharusnya hadir — bukan hanya sebagai badan usaha, tapi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat.
Akademisi Turun Gunung
Selama ini, kata Prof. Murpin, banyak akademisi hanya berhenti pada seminar, pelatihan, atau kajian.
Akan tetapi di bawah inisiatif Koperasi Sekunder Nasional Binaan Profesor dan organisasi PERGUBI (Persatuan Guru Besar Indonesia), para profesor kini turun tangan langsung: mendampingi koperasi, mengembangkan model bisnis, dan mengintegrasikan teknologi digital.
“Akademisi bukan lagi pengamat, tetapi aktor perubahan,” ujar Prof. Murpin penuh semangat.
Koperasi dibentuk bukan untuk mencari proyek, tapi membentuk sistem ekonomi berkelanjutan.
Bagi Prof. Murpin, koperasi adalah laboratorium hidup. Di sinilah ilmu diuji, dimatangkan, dan diterapkan — dari teori ke lapangan.
Melampaui Slogan
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa koperasi harus menjadi alat utama pemerataan ekonomi nasional.
Pernyataan ini sejalan dengan perjuangan Prof. Murpin: koperasi bukan pilihan, tetapi keniscayaan.
Namun, tantangannya besar. Hingga 2023, kontribusi koperasi terhadap PDB nasional masih stagnan di angka 4,1 persen. Artinya, ada masalah struktural yang harus dibenahi — dari ketergantungan terhadap bantuan, lemahnya inovasi, hingga kurangnya pemanfaatan teknologi.
Koperasi Indonesia, kata Prof. Murpin, harus keluar dari model lama. Sudah saatnya koperasi membangun platform digital sendiri, masuk ke ekosistem e-commerce, menggunakan sistem pembayaran digital, dan menjalankan manajemen keuangan real-time.
Indonesia tak sendiri. Dunia sudah memberi banyak contoh. Mondragón di Spanyol, koperasi konsumen Jepang, hingga koperasi sumber daya alam di Swedia — semua membuktikan bahwa koperasi bisa tumbuh besar, profesional, dan berdaya saing global.
Kini, Prof. Murpin membawa semangat itu ke kampus-kampus di Indonesia. Ia ingin setiap universitas punya “laboratorium koperasi” yang benar-benar hidup — bukan hanya simbol.
Di sinilah mahasiswa belajar tentang keadilan ekonomi, dosen mengasah inovasi, dan koperasi berkembang menjadi tulang punggung rakyat.
Jalan Perubahan: Dari Ide ke Aksi
Dalam paparannya, Prof. Murpin menyampaikan enam solusi konkret untuk membangkitkan koperasi:
- Penguatan koperasi desa berbasis produk unggulan lokal.
- Digitalisasi koperasi untuk memperluas pasar dan efisiensi.
- Jejaring koperasi nasional yang menghubungkan koperasi primer hingga sekunder.
- Pendampingan berkelanjutan oleh akademisi dan kampus.
- Reformasi kebijakan pemerintah, dengan insentif bagi koperasi inovatif.
- Afirmasi koperasi dalam pengadaan pemerintah daerah.
Masa Depan yang Dibangun Bersama
Prof. Murpin tidak sedang bermimpi. Ia sedang menata ulang mimpi lama yang tertunda: Indonesia sebagai negara koperasi. Jika ekosistem koperasi ini benar-benar dibangun, kontribusi terhadap PDB bisa naik menjadi 6–7 persen pada 2030.
Namun lebih dari angka, yang dibayangkan Prof. Murpin adalah Indonesia yang adil dan berdaulat secara ekonomi. Di mana petani di Humbang, nelayan di Sikka, dan pengrajin di Lombok punya kekuatan tawar.
Bukan karena belas kasihan, tetapi karena mereka punya sistem ekonomi yang mereka miliki dan kendalikan sendiri: koperasi.
Di akhir pidatonya, Prof. Murpin menyampaikan pesan yang menyentuh:
“Kita tidak sedang membangun koperasi untuk koperasi. Kita sedang membangun koperasi untuk Indonesia.”
Dan dari Danau Toba — tempat lahirnya semangat kolektivitas Batak yang melegenda — suara para profesor kini menggema. Mereka bukan lagi hanya pengajar, tapi pejuang yang menyalakan api perubahan dari desa, untuk negeri.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga