SAMOSIR – Belum diketahui siapa pertama kali menamai metode pembuatan ulos menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dengan nama “Markasusak”. Pertama kalinya aku mendengar istilah markasusak.
Saat itu aku sedang berkunjung ke rumah Opung, Kamis (07/07/2022). Persis di belakang rumah opung (nenek) aku mendengar bunyi berisik layaknya orang sedang membanting-banting kayu. Kutanya ke opung suara apa itu. Lalu opung menjelaskan di belakang rumahnya ada tetangga yang sedang Markasusak.
“Apa itu Markasusak?” tanyaku lagi. Dia pun memintaku untuk melihat langsung aktivitas masyarakat di belakang rumah. Akhirnya kulangkahkan kakiku ke belakang untuk melihat. Di sana aku melihat sekumpulan orang sibuk bekerja memproduksi ulos.
Kutanya sama orang-orang di sana mengapa metode ATBM itu disebut Markasusak. Tapi, tidak seorang pun warga di Desa Lumban Suhi-Suhi Huta Raja Kecamatan Pangururan Samosir yang dapat menjelaskannya.
“Pokoknya, itulah namanya. Mungkin karena menghasilkan suara bising yang bunyinya terdengar kasusak makanya dinamai begitu kali!” jelas Opungku.
Menurut beberapa orang, istilah itu mulai populer di kalangan Suku Batak Toba, khususnya di Samosir tahun 2020. Ulos yang dihasilkan dengan ATBM ini sama dengan cara bertenun (martonun) biasa.
Pria Pun Markasusak di Tanah Batak
Tidak hanya istilah markasusak yang baru di telingaku. Pria markasusak atau bertenun pun baru ini kulihat. Apalagi yang markasusak ini masih tulang (paman) yang kukenal semasa aku kecil di Huta Raja, Samosir. Kucoba cari tahu lebih dalam, apa yang buat tulang ini beralih pekerjaan.

“Mengapa tulang mau markasusak? Biasanya pria Batak itu gengsi kerjakan pekerjaan wanita,” tanyaku.
Dia menjawab, ulos merupakan penghasilan orang di Huta Raja sejak dulu. Itulah mata pencaharian orang di sini. Kalau dulu dia masih bisa menggembalakan kerbau, ternyata sekarang tidak diizinkan lagi memelihara kerbau di sana. Itulah alasannya memilih membuat ulos.
Sekalipun baru saja melewati ekonomi sulit akibat pandemi, ia optimis membangun usaha ATBM. Bangunan untuk markasusak tersebut katanya sudah berdiri lima bulan.
Guna mengembangkan usaha ini, ia mengajukan pinjaman dari kredit usaha rakyat (KUR) BRI. Sebab, butuh biaya sekitar Rp100 juta untuk merampungkan bangunan dan pengadaan ATBM.
Optimis Usaha Kasusak akan Lancar
Pengusaha ATBM yang dinamai Pak Pollang ini, yakin usaha ini lancar. Sebab, selalu ada permintaan ulos. Para toke ulos, katanya, tidak pernah stop permintaan ulos sekalipun harga ulos yang dihasilkan dibanderol Rp200 ribu – Rp1 juta.
“Biasanya sepasang sekali menjual – selendang dengan sarung. Harga termurah Rp200 ribu. Bergantung jenislah. Ada yang harga Rp1 juta. Ulos inikan sudah kebutuhan sehari-hari. Dijadikan pakaian hari-hari sama suku Batak Karo. Beda dengan suku Batak Toba pakai ulos biasanya ke pesta atau acara khusus,” terang istrinya menjelaskan distribusi ulosnya.
Sang istri, Mak Pollang mengatakan, sebelum mereka memutuskan untuk mendirikan usaha kasusak ini, mereka sudah lebih dulu meningkatkan keterampilan mereka dengan pelatihan. Salah satunya pelatihan yang diselenggarakan Koperindag Samosir.
Selain didukung oleh pengalaman, keterampilan, modal, sepasang suami istri ini telah memiliki karyawan. Karyawan atau timnya masih keluarga dan kerabat mereka – yakni kakak, sepupu-sepupu, dan anaknya bernama Delon.

Delon yang duduk di bangku SMA kelas 2 Parbaba, sudah mahir menggunakan ATBM ini. Ia mengaku tidak minder saat kawan-kawannya melihat dia markasusak. Lagian, belum pernah ada kawan yang mengejeknya karena itu.
Di samping Markasusak, keluarga ini masih tetap mengerjakan ladang dan sawah mereka. Dulu, Samosir dikenal sebagai penghasil bawang merah. Sekarang, akibat tingkat kesuburan tanah berkurang, keluarga ini lebih banyak membudidayakan jagung dan padi.
“Masih tetapnya kami ke ladang. Kalau sudah selesai menanam baliklah lagi kerjakan ulos. Sesekali ke ladang untuk memupuk, membersihkan rumput-rumput lalu panen. Ke ladang, markasusak, dikerjakanlah semua supaya bisa bayar uang sekolah anak-anak,” kisah Pak Pollang.
Penulis : Damayanti Sinaga
Editor : Mahadi Sitanggang