Simalungun, NINNA.ID-Sudah tujuh bulan sejak mediasi digelar di Kantor Lurah, tapi pohon durian milik Pak Sidabalok itu masih berdiri kokoh di belakang rumahku—mengancam keselamatan, menghalangi cahaya, dan menjadi simbol nyata dari ketidakadilan.
Padahal sebelum rumah ini berdiri, aku sudah dua kali datang dengan niat baik. Meminta dengan sangat agar pohon itu ditebang.
Bukan karena benci durian, tapi karena posisinya membahayakan rumah yang akan kutinggali. Tapi niat baik sering kali tidak dihargai.
Pak Sidabalok malah memintaku 3 juta untuk menebangnya. Aku tahu betul nilai pohon itu, karena aku juga beli kayu, dan beberapa warga dekatku bilang, “Ito, kasih 600 ribu pun udah lebih dari cukup. Kalau dia minta 3 juta dan kayunya dia bawa, itu artinya dia mau bodohi ito.”
Aku tidak menurut dengan permintaan 3 juta ini.
Akhirnya, mediasi digelar di September 2024, di hadapan Kepala Lingkungan 2 dan Pak Lurah Rudi Sinaga. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaanku.
Alih-alih mendukung kebenaran, mereka malah menyudutkanku. Pak Lurah berkata, “Kamu salah, kenapa bangun rumah di lokasi yang bukan pemukiman.”
Aku jawab, “Bapak sebenarnya Lurah atau bukan? Pohon itu berdiri di tanah milik almarhum Mandur Sinaga, bukan milik Pak Sidabalok.”
Dan anehnya, justru aku yang dimarahi.
Yang lebih menyakitkan, ketika aku dibentak, “Hey, saya ini Lurah! Di sini saya yang paling berkuasa,” katanya sambil melempar surat tanahku.
Aku belum pernah bertemu pejabat semena-mena seperti itu.
Pernyataan ini sempat ku jawab dengan nada menyindir langsung ke Lurah,” Bapak sebenarnya Lurah atau bukan? Saya malah bingung kenapa Pak Sidabalok bisa mengklaim itu pohon duriannya, padahal itu tanah jelas-jelas milik almarhum Mandur Sinaga.”
Membabi butanya Lurah Rudi Sinaga membela Pak Sidabalok membuat dia tersudutkan dengan kata-katanya sendiri. Sebab, jika ditelusuri lebih mendalam. Pohon yang diklaim Pak Sidabalok merupakan pohon duriannya berdiri di tanah milik almarhum Mandur Sinaga.
Berdasarkan pengakuan Pak Sidabalok, pohon durian tersebut ditanam oleh mendiang Ibunya dulu di sekitar tanah yang ku beli.
Dulu, disinilah pemukiman keluarga mereka- keluarga orang tua Mandur Sinaga. Mandur Sinaga merupakan saudara lelaki orang tua perempuan Pak Sidabalok.
Di sinilah keluarga Sinaga tersebut tinggal sampai akhirnya satu per satu keluarga meninggalkan kampung ini. Satu per satu bangunan yang ada di situ tak lagi bertahan, habis dimakan zaman.
Pada masa itu, banyak orang Batak lebih memilih membangun perkampungan di bagasan (baca: ke dalam), bukannya di pinggir jalan seperti sekarang ini.
Kembali ke tuduhan Pak Lurah yang bernama Rudi Sinaga, apakah saya salah membangun rumah di tanah itu?
Sangkin ingin membela Pak Sidabalok, dan tidak menegakkan keadilan, Pak Rudi Sinaga sudah membuat kesalahan besar.
Anehnya, saat aku minta kepastian kapan pohon itu akan ditebang, jawabannya malah, “Tunggu bunganya jadi buah dulu!”
Katanya, pantang menebang pohon yang sedang berbunga. Tapi sekarang, bunga-bunga itu tak satu pun menjadi buah.
Dan sudah tujuh bulan aku menunggu. Sampai menjemur pakaian pun sulit karena pohon itu menjulang menutupi sinar matahari.
Kesalahan lain dari Lurah Rudi Sinaga, dia menyudutkanku dengan mengatakan pohon sudah ada terlebih dahulu belakangan rumah saya berdiri. Jadi menurut dia, sayalah yang salah.
Lantas saya jawab,” Pak, saya tidak tahu ada konflik antara Pak Sidabalok dengan Mandur Sinaga saat saya beli tanah ini. Dulu, saya dibujuk untuk merekomendasikan tanahnya, termasuk tanah dimana pohon durian itu berdiri. Kalau saya tahu bakal terjadi masalah, serius, saya tidak bakal beli tanah ini!”
Dalam proses mediasi dimana saya seorang diri harus membela diri, Pak Rudi Sinaga yang merasa punya kekuasaan penuh sebagai Lurah sering membentak-bentak saya.
Saya belum pernah jumpa dengan pejabat yang begitu sombong seperti dia sebelumnya. Harapan saya, tidak bakal pernah berurusan dengan orang seperti dia.
Sempat pula mereka menghadirkan pihak lain yakni kerabat Mandur Sinaga dari Kota Perdagangan.
Saya sendiri kurang paham mengapa mereka, khususnya Pak Sidabalok, menghadirkan marga Sinaga dari Kota Perdagangan.
Tapi intinya, yang mereka mau sampaikan adalah tanah yang saya beli adalah tanah marga Sinaga yang dari Kota Perdagangan ini.
Saya tidak mau ambil pusing. Saya bilang mudah saja bagi saya. Saya akan menuntut kembali uang saya dikembalikan oleh keluarga Mandur Sinaga.
Tapi niat saya tersebut segera dicegat dan belakangan muncullah kesepakatan dengan Pak Sidabalok.
Kesepakatan untuk menunggu sampai pohon itu berbuah atau panen.
Tujuh Bulan Kemudian
Tanggal 25 April 2025 aku kembali menghadap Pak Sidabalok. Dia janji akan menebang. Tapi sampai hari ini, 4 Mei 2025, pohon itu masih berdiri.
Aku sudah menghubungi Camat Pak Viktor Sijabat, Kepala Lingkungan 2 Girsang 1 Sunggul Sinaga, bahkan yang sangat ku harapkan yakni anggota DPRD Simalungun Maraden Sinaga, putra daerah Girsang yang adalah keponakan kandung Pak Sibalok.
Sayangnya, jawaban menyudutkan yang ku terima dari Pak Rudi Sinaga dulu tahun 2024, digunakan kembali oleh anggota DPRD Simalungun Maraden Sinaga yakni: saya yang salah karena membangun rumah bukan di lokasi pemukiman warga.
Sedih mendengar pernyataan seperti itu dari anggota DPRD Simalungun.

Sampai saat ini, belum ada kepastian terkait pohon tersebut kapan akan ditebang.
Sempat Kepling Lingkungan 2 mengatakan Pak Sidabalok saat ini sedang sakit.
Apakah masuk akal alasan sakit dikaitkan dengan ditunda-tundanya pohon tersebut ditebang? Saya sudah menunggu 7 bulan lebih.
Ku pikir tinggal di kampung milik Sinaga, punya tetangga mayoritas Sinaga, saya akan mendapatkan perlindungan dan dukungan. Tapi apa yang saya dapat?
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga