NINNA.ID – Pernyataan dari Ketua KPU soal sistem pemilu coblos partai, mendapat reaksi dari sejumlah petinggi parpol. Sedikitnya ada 8 pimpinan partai politik berkumpul di Hotel Dharmawangsa, membicarakan sistem pemilu itu.
Terlihat hadir langsung sejumlah ketua umum partai politik, namun ada juga ketua umum yang tidak hadir dan diwakilkan sekretaris jenderal partai maupun wakil ketua umum.
Pantauan media, ketua umum parpol yang tidak hadir ialah Ketum NasDem Surya Paloh, Plt Ketua Umum PPP Mardiono. Keduanya terlihat mengirim perwakilan. Juga tidak terlihat perwakilan dari Partai Gerindra dan PDI Perjuangan.
Para ketua umum yang hadir: Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan.
Dari PPP dihadiri Waketum Amis Uskara, dan NasDem diwakilkan Waketum Ahmad Ali serta Sekjen Johnny G. Plate.
Pertemuan para petinggi parpol itu disebut untuk menyikapi ramainya pembahasan mengenai sistem porporsional tertutup atau sistem proporsional terbuka. Mengingat adanya gugatan uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Ahmad Ali, Waketum Partai Nasdem membenarkan hal itu. Ia mengungkapkan, salah satu yang dibahas ialah pernyataan Ketua KPU Hasyim Asyari mengenai peluang proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
“Salah satu yang ingin dibicarakan, satu soal masalahnya pernyataan ketua KPU tentang proposional terbuka. Itu menjadi poin yang akan kita diskusikan supaya ada pemahaman yang sama,” kata Ali di Jakarta Selatan, Minggu (8/1/2023).
Hanya saja, jawaban Ali belum pasti saat ditanya apakah 8 petinggi parpol bakal menyatakan sikap penolakan terhadap sistem proporsional tertutup, Ali menyiratkan adanya kemungkinan tersebut.
“Harusnya seperti itu. Karena itu memang domain parpol yang pembuat undang-undang itu bukan domain MK mestinya harusnya,” kata Ali.
8 Fraksi Di DPR Minta MK Konsisten
Dari DPR RI, ada delapan fraksi menyatakan sikap tetap mendukung penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024.
Bahkan, mereka meminta Mahkamah Konstitusi konsisten akan putusannya terhadap sistem proporsional terbuka.
Delapan fraksi itu: Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP.
Fraksi PDI Perjuangan satu-satunya yang tidak ikut dalam pernyataan sikap bersama tersebut.
Pernyataan itu menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008. Mereka mengatakan, sejak keputusan itu, rakyat kini diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih, dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang.
Dalam kata lain, Pemilu tidak lagi menggunakam sistem proporsional tertutup.
“Tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya melalui kewenangan partai politik semata. Itulah kemajuan sekaligus karakteristik demokrasi kita,” tulis fraksi-fraksi.
Menurut masing-masing fraksi itu, sistem pemilu yang ada saat ini merupakan perpaduan yang sangat indah antara keharusan kedekatan rakyat dengan wakilnya dan keterlibatan institusi partai politik yang tetap harus dijunjung.
“Oleh karena itu, kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju, dan jangan kita biarkan setback, kembali mundur,” tulis fraksi-fraksi.
Sedikitnya terdapat tiga poin yang menjadi pernyataan sikap bersama, dari uraian delapan fraksi itu.
Poin pertama berbunyi, “Bahwa kami akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju”.
Berlanjut poin kedua, delapan fraksi meminta MK konsisten.
“Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia,” tulis fraksi-fraksi.
Sementara itu poin ketiga, delapam fraksi mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat undang-undang.
“Tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” tulis fraksi-fraksi.
Editor : Mahadi Sitanggang