NINNA.ID – Dalam konstelasi prinsip Dalihan na Tolu itu muncullah juga penempatan status perempuan dalam budaya Batak Toba. Status hulahula-lah yang lebih tinggi, yang patut disembah dan dihormati. Hulahula adalah Bona ni Ari (awal hari kehidupan). Sementara pihak boru adalah pihak yang melayani hulahula.
Hal itu terungkap dalam pepatah: “Boru adalah yang menanggung beban berat, menjemput yang jauh. Yang tidak takut pada waktu gelap, yang membawa nasi yang tak pernah basi, yang membawa arak yang tidak pernah masam.”
Inilah kedudukan boru dalam kaitan dengan hulahula-nya. Di satu pihak dinyatakan kedudukannya yang menanggung beban, tetapi dipihak lain diperlihatkan keunggulannya.
Pengaruh Budaya Patriarkal
Sejak dahulu sampai sekarang, masyarakat Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang sangat patriarkal. Dalam masyarakat ini, posisi perempuan seringkali sulit. Seorang perempuan yang telah melahirkan anak laki-laki akan sangat dihargai, tetapi seorang perempuan yang tidak melahirkan anak laki-laki dianggap rendah.
Karena sistem marga dibangun di kalangan laki-laki, maka seorang laki-laki yang tidak mempunyai anak laki-laki tidak bisa mengabadikan marga. Keadaan itu dianggap sebagai rasa malu yang sangat besar dan laki-laki itu biasanya didesak untuk memiliki istri lagi. Meskipun demikian, kebutuhan memiliki anak laki-laki satu-satunya alasan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri lagi masih ada faktor lain.
Dalam tata perkawinan, status perempuan (boru) tampak inferior. Beberapa ungkapan orang Batak Toba kiranya dapat menunjukkannya, “molo dung magodang anak pangolihonon. Molo dung magodang boru pamulihonon.” (kalau anak laki-laki sudah besar, menikah. Kalau anak puteri sudah besar dinikahkan).
Secara semantik kata yang digunakan untuk perempuan mengandung nada degradatif (merendahkan). Pamulihonon berasal dari kata muli yang berati pergi; maka pamulihonon berarti ‘membuat atau menyuruh pergi’.
Ada nada negatif seolah-olah mengusir. Bahkan ada orang yang melihat bahwa kata pamulihonon adalah bentuk halus dari pabolihonon (yang sudah dibeli) yang akar katanya boli = beli.
Maka perempuan dalam tata perkawinan Batak Toba adalah pihak “yang dibuat untuk dibeli”.
Karena itu tidak mengherankan bila orang Batak Toba menyebut pesta perkawinan puterinya, sebagai ‘mangallang tuhor ni boru’ (memakan uang hasil pembelian anak puteri), yang kerap diperhalus dengan ungkapan ‘magallang juhut ni boru’ (memakan daging yang disediakan puteri).
Posisi perempuan sebagai pihak yang dibeli tampak pada upacara perkawinan berlangsung, baik si laki-laki maupun si perempuan mengenakan ulos (sehelai kain yang ditenun dengan warna dominan hitam, putih dan merah) yang disilangkan di depan dan di belakang. Tetapi makna disilangkan itu berbeda untuk laki-laki dan untuk perempuan.
Makna kain ulos yang disilangkan untuk perempuan berarti perempuan “menyalibkan” dirinya pada suaminya. Itu artinya perempuan menyerahkan ketaatan dan kesetiaan untuk selamanya kepada suaminya.(Bersambung ke hari Kamis)
Penulis : Pastor Moses Elias Situmorang OFMCap (Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, Simalungun-Sumut)
Editor : Mahadi Sitanggang