Penjualan Lonceng Gereja Tak Sekeras Dentangnya

NINNA.ID – TAPUT |  “Bege begema giring giring i, dungo ho lao maho tu Gareja i” “Bege begema giring giring i, dungo ho lao maho tu Gareja i”

Lirik lagu dalam buku nyanyian (Buku Ende) HKBP begitu sukacita dan bergembira mengajak semua umat beribadah saat mendengar dentang lonceng gereja atau giring-giring (Batak Toba).

Bagi masyarakat Desa Sitampurung, Kecamatan Siborong Borong, Kabupaten Tapanuli Utara, giring giring sudah tidak asing lagi bagi perkembangan desa itu dari masa ke masa. Hampir sepanjang jalan Desa Sitampurung, usaha penjualan giring-giring menghiasi. Giring-giring ukuran besar dan kecil, dengan bobot yang pasit berat terpajang berjajar.

Tampilan giring-giring itu ada yang sudah berabu bahkan menghitam dimakan waktu, namun ada juga yang masih baru. Meski harus menunggu lama untuk laku terjual,  usaha pembuatan giring-giring ini sudah dilakoni sejak turun temurun. Apalagi, yang membutuhkan giring-giring ini mayoritas gereja atau rumah ibadah orang Kristen.

BERSPONSOR

“Saya meneruskan usaha dari oppung dan bapak saya yang sudah memulai menempa giring giring sejak 40 tahun silam,” kata Reinhard Lubis warga Desa Sitampurung penempa giring-giring saat ditemui Ninna.id di usaha bengkel pandai besinya, 05 Agustus 2021. 

Di bengkel itu pembuatan giringi-giring  merupakan usaha sampingan, karena sangat jarang terjual. Modal untuk membuat giring-giring diakuinya “mati”, apalagi akhir-akhir ini  pembangunan gereja tidak terlalu banyak. Produksi utamanya saat ini membuat besi menjadi parang, dodos hingga besi babat rumput.

Untuk usaha menjual satu giring-giring, kata Reinhard, belum tentu laku selama setahun. Giring-giring yang dibuatnya terpaksa dipajang diterpa panas dan hujan setiap harinya,  melewati hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan bahkan melewati tahun demi tahun.

TERKAIT  Susu Tarutung Minuman Anak SMP, Naik Kelas ke Level Provinsi

Di luar keluhannya saat ini, dia pernah menjual giring-giring hasil tempaannya ke Papua hingga beberapa daerah di Indonesia. Selama menempa giring-giring itu, tidak ada ritual khusus yang dilakoni para penempa. Saat bahan besinya berupa pipa besi berdiameter besar tiba, ia dan beberapa rekannya langsung membakar dan memukul besi itu, membentuk lonceng-lonceng gereja atau giring-giring. Pipa yang digunakan merupakan bekas pipa-pipa minyak yang biasanya digunakan PT Pertamina atau PT Caltex di Riau.

“Untuk memukulnya dibutuhkan tenaga empat pria dewasa yang kuat, sebab saat memukul tidak boleh berhenti karena besi itu dibakar hingga membara. Jadi harus cepat dipukul agar bisa dibentuk,”  terang ayah empat anak beristrikan boru Silaban ini.

BERSPONSOR

Harga satu giring-giring bervariasi, untuk ukuran yang besar dengan berat hingga 200 kg dijual seharga Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Sementara untuk ukuran kecil dengan berat 100 kg dijual di antara harga Rp 6 juta hingga Rp 10 juta.

Giring-giring produksi bengkelnya itu diakui tahan lama. Dia tidak pernah mendengar giring-giring produksinya rusak. Satu harapannya supaya gereja-gereja terus dibangun dan sekte terus bertambah supaya para penempa giring-giring bisa bertahan di masa-masa sukar khususnya di masa pandemi Covid-19 ini.

“Pinta kami para penempa di Desa Sitampurung ini tidak muluk muluk. Semoga gereja terus dibangun dengan aliran serta sekte bertambah di dunia ini,” ujarnya sembari menatap lima unit giring-giring yang terpajang belum laku sejak tahun 2020 lalu.

Penulis : Jogi Sianturi

- Advertisement -

Editor   : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU